24.7.07

info

Komunitas seni HITAM-PUTIH Indonesia akan melakukan pertunjukan teater dengan pencarian baru di atas panggung dengan mengangkat judul cerpen Ditunggu Dogot karya Sapardi Djoko Damono, sutradara Kurniasih Zaitun (TINTUN)..

Setelah tampil di Solo pada bulan April lalu, sekarang saatnya tampil di Bandung dan Jakarta. Berikut informasinya :

Bandung : 25 Juli 2007

  • CCF Bandung (depan Bandung Electronic Center, jl. Purnawarman no. 32, pukul 19.30

Jakarta : 27 - 28 Juli 2007

  • 27 Juli, pukul 20.00 di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, Cikini Jakarta Pusat. Terbuka untuk umum.
  • 28 Juli, pukul 19.30 di Taman Kambojo, Kampus UIN Ciputat, Jakarta

Konsep Garapan
Ditunggu Dogot adalah sebuah cerpen Sapardi Djoko Damono. “Teks” cerpen ini kemudian ditafsirkan dan diwujudkan dalam bentuk pertunjukan teater. Cerpen ini mengisahkan perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asal usulnya.

Dapat dilihat disini bahwa Sapardi sangat terinspirasi oleh Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Sapardi mencoba melihat bagaimana persoalan “menunggu” tidak akan lengkap jika tidak ada “ditunggu”, dan Sapardi percaya bahwa hidup ini berpasang-pasangan. Hal ini terlihat pada dialog-dialog yang muncul dalam cerpen tersebut, termasuk cara Sapardi dalam melukiskan persoalan dan konflik yang membangun inti cerpen tersebut.

Konsep panggung yang ditawarkan adalah stage on stage (panggung di atas panggung) yang menghadirkan panggung bergerak (berputar) untuk mnenawarkan konsep un-blocking (perpindahan aktor lebih ditentukan oleh pergerakan panggung). Sedangkan posisi penonton diarahkan ke dalam bentuk prosenium dan tapal kuda/arena, dengan tujuan lebih memudahkan penonton untuk mengapresiasi pentas itu sendiri. Untuk memperkuat karakter pertunjukan dan artistik panggung, pementasan ini juga menggunakan multimedia yang dilahirkan melalui layar yang menjadi latar belakang panggung.

Konsep pertunjukan Ditunggu Dogot, berangkat dari ide dasar randai, dengan menjadikan unsur galombang dan pelaku galombang sebagai penentu, yakni penentu pergantian waktu, tempat dan adegan. Fungsi pelaku galombang dalam pertunjukan ini sangat ditentukan oleh perputaran panggung; pada saat perputaran dilakukan, pelaku galombang menjadi aktor pertunjukan, dan ketika tidak terjadi lagi perputaran, sang pelaku galombang memfungsikan diri sebagai bagian dari penonton.

Sinopsis

Perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Semua yang ada dimuka bumi ini diciptakan berpasang-pasangan. Jauh dekat, tinggi rendah, langit bumi, laki-laki perempuan, menunggu ditunggu. Perjalanan hidup manusia yang tak pernah bisa ditebak “apa”, tapi dapat dirasakan, dijalani dan dinikmati.

Sampai jumpa dan tabik,

Evi Widya Putri

Komunitas Seni HITAM-PUTIH

6.7.07

pementasan hanya satu kali sutradara Afrizal Harun

Pementasan Teater dengan judul naskah "Hanya Satu Kali" karya Jhon Galsworthy dan Robert Midlemand, sutradara Afrizal Harun
Tanggal 5 Juli 2007
di Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang Pukul 20.30 WIB.

BERITA HITAM-PUTIH

PEMENTASAN TANGGA
Inspirasi puisi Iyut Fitra
drama Prell.T
sutradara Yusril
21 Juli di STSI Padangpanjang
27 Juli di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat

Pementasan DITUNGGU DOGOT
Karya Sapardi Djoko Damono
Sutradara Kurniasih Zaitun
27 Juli 2007 di Taman Ismail Marzuki Jakarta

5.7.07

LIFLET1

LIFLET2

FILM SEBAGAI MEDIA PENCITRAAN DAERAH[1]

Oleh

Emeraldy Chatra[2]

Film telah membuat citra seniman daerah sebagai orang-orang tolol di dunia film, dan membuat citra sineas Jakarta serba lebih hebat.

Ketika kita menonton film-film buatan Bollywood yang muncul ke hadapan kita adalah wajah India, bukan wajah Mumbay atau New Delhi. Begitu juga ketika kita menonton film-film produksi Hollywood (Amerika Serikat), yang kita lihat adalah wajah negara Paman Sam itu, bukan wajah Los Angeles atau Washington. Tapi ketika kita menonton film-film buatan Indonesia yang terlihat adalah wajah Jakarta dan sekitarnya (Bogor atau Bandung), mulai dari yang sangat glamor dan berkelimpahmewahan sampai pada suasana perkampungan yang paling jorok.

Terpusatnya industri film di Jakarta menyebabkan film Indonesia didominasi oleh film-film yang menjadikan kehidupan metropolitan sebagai setting cerita. Wajah Jakarta dan sekitarnya jauh lebih tampak dibandingkan wajah daerah-daerah lain di luar daerah tsb. Wajah Jakarta itulah yang dipaksakan sebagai wajah Indonesia, seolah-olah Indonesia merupakan sebuah negara kota yang sangat urban. Padahal, Indonesia bukanlah Jakarta plus Bogor plus Bandung. Lebih kurang 80% rakyat Indonesia hidup di luar Jakarta, di daerah-daerah perdesaan yang kebanyakan masih mempertahankan tradisinya yang eksotis. Dengan kondisi seperti itu film kita lebih tepat dikatakan film Jakarta daripada film nasional.

Tampaknya, daerah-daerah di luar Jakarta, terutama Sumatra, Kalimantan, Sulawesi atau Papua tidak dianggap memberi nilai tambah kepada film oleh para industrialis maupun seniman film yang hampir seluruhnya berdomisili di Jakarta. Agaknya mereka berpikir, jika bisa membuat film yang menguntungkan di Jakarta atau kota-kota di sekitarnya, mengapa harus repot-repot datang ke kota-kota atau nagari-nagari di Sumatera Barat atau paserah di Sumatera Selatan? Mengapa pula harus membuang uang banyak untuk datang ke Papua, sementara filmnya belum tentu laris di pasar?

Alasan seperti itu tentu sangat logis, karena film adalah produk industri padat modal yang rentan rugi. Lagi pula, kebanyakan rakyat Indonesia tidak pernah mempersoalkan dimana sebuah film dibuat. Mereka tidak pernah memprotes mengapa industri film sejak dulu hanya di Jakarta, tidak pernah tampak tanda-tanda akan bergerak ke luar Jakarta. Tidak banyak yang membandingkan industri film India yang tidak berpusat di New Delhi, tapi di Mumbay, atau industri film Amerika Serikat tidak di Washington, tapi di Los Angeles.

Tak ayal, pemusatan industri film di Jakarta menimbulkan mitos dan anggapan bahwa yang bisa membuat film hanya orang Jakarta. Orang-orang daerah tidak sepandai orang Jakarta; kalau membuat film tanpa bantuan orang Jakarta pasti jelek, pengusaha daerah tidak mengerti film, artis daerah tidak ada yang berbakat, dan sebagainya.

Sebagian anggapan itu tidak salah. Di Jakarta ada IKJ (Institut Kesenian Jakarta) yang mengajarkan bagaimana membuat film dan telah menghasilkan sineas-sineas terkemuka. Mereka umumnya mencari hidup di Jakarta setelah menamatkan pendidikan. Sebagian memang kembali ke daerah dan tak pernah menjadi sineas terkemuka di tingkat nasional.

Di samping itu, di Jakarta juga jauh lebih mudah mendapatkan dana untuk memproduksi film, penyewaan peralatan tersedia, studio-studio canggih juga ada. Semua itu, harus jujur diakui, sukar diperoleh di daerah. Berbagai kesulitan yang dihadapi seniman daerah dalam usaha mereka menghadirkan film yang layak tonton akhirnya membangun citra bahwa di daerah hanya ada penonton, tidak ada seniman yang mampu membuat film.

Pertanyaan kita, sampai kapan masyarakat daerah melulu harus menjadi konsumen film-film Jakarta? Kapan citra ‘tidak melek film’ yang melekat pada seniman daerah berubah menjadi ‘melek film’? Kapan berbagai kearifan lokal yang masih subur di Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi dapat dihadirkan oleh sineas daerah untuk dikonsumsi oleh orang-orang Jakarta? Atau, secara ekonomis, kapan orang daerah dapat menyedot uang orang Jakarta dari industri film mereka setelah sejak dulu kala hanya menyetor uang – dengan menonton -- kepada industri film Jakarta?

Dalam penilaian saya, dunia film bukanlah dunia yang tidak dapat dijangkau oleh para seniman daerah. Seniman daerah tidak perlu merasa rendah diri berhadapan dengan seniman Jakarta yang dibesarkan oleh fasilitas, tapi nyatanya juga tidak terlalu hebat dibandingkan seniman film India, Hongkong, apalagi Amerika Serikat. Toh karya-karya film-maker Jakarta hingga hari ini tetap tidak dikenal di dunia internasional, kendati satu dua sudah mendapatkan penghargaan di festival Cannes. Singkatnya, sineas Jakarta belum naik ke langit ke tujuh sehingga tidak dapat lagi dikejar oleh para seniman daerah. Mereka masih satu dua langkah saja di depan.

Justru dalam pikiran saya seniman daerah dapat menjadi lebih tegar, tidak manja dan dinamis mengingat demikian besarnya tantangan untuk berkarya. Berbagai kesulitan yang tidak dialami sineas Jakarta, tapi umum dialami oleh seniman lokal, dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun strategi berkarya yang lebih baik atau lebih efisien. Yang penting, jangan pernah ada istilah patah semangat, karena itu merupakan virus pembunuh utama bagi kegiatan kesenian apapun.

Apakah Orang Sumatera Barat bisa Bikin Film?

Hanya orang-orang yang tidak tahu sejarah yang akan mempertanyakan kemampuan orang Sumatera Barat membuat film. Baru saja Indonesia merdeka, orang Sumatera Barat sudah muncul sebagai tokoh-tokoh legendaris di dunia film. Mereka adalah Anjar Asmara, Usmar Ismail, Djamaludin Malik, Dr Abu Hanifah, dan Drs. Asrul Sani. Tokoh lain yang berasal dari Sumatra Barat adalah Roestam St. Palindih dan Dr Adnan Kapau Gani. Namun malangnya mereka kemudian lebih dikenal sebagai orang Jakarta, dan nama mereka tidak banyak dikenal di Sumatera Barat. Semangat mereka juga tidak menular ke dada seniman daerah yang terperangkap oleh mitos rendah diri karena tinggal jauh dari pusat kekuasaan.

Kini usaha-usaha seniman Sumatera Barat untuk mengikuti jejak pendahulu mereka di dunia film tanpa harus hijrah ke Jakarta sudah mulai menggeliat. Hal ini muncul sejalan dengan makin murahnya peralatan produksi seperti kamera dan komputer editing. Paling tidak seniman daerah Sumatera Barat sudah menghasilkan sinetron-sinetron lepas dan video dokumenter yang dikemas dalam CD kemudian ditayangkan dalam acara-acara sederhana. Untuk hadir di televisi memang masih memerlukan perjuangan panjang, kendati di Padang dan Bukittinggi sudah berdiri stasiun televisi lokal.

Langkah maju ke industri film juga masih tersendat. Mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang perfilman belum lagi jadi pilihan pengusaha daerah. Undang-Undang Perfilman No. 8/1992 dan PP No. 6/1994 yang dianggap sebagai pembunuh kreativitas insan perfilman, sekalipun tidak lagi efektif, tetap jadi hantu karena bagi pemilik modal karena belum dicabut. Undang-undang dan peraturan produk Orde Baru ini merupakan manifestasi kezaliman sebuah rejim terhadap kebebasan berkreasi dan berusaha di sektor perfilman karena menetapkan berbagai aturan dan larangan yang seolah-olah meletakkan sebelah kaki para sineas selalu dalam penjara. Di sisi lain, Undang-undang dan peraturan ini seakan meletakkan para pengusaha di pintu lembaga-lembaga Pemerintah yang diduduki para koruptor, sehingga para pengusaha setiap saat dicekik oleh ongkos perizinan dan biaya-biaya ekstra yang memangkas laba usaha sebelum produksi berjalan.

Tanpa pencabutan UU No.8/1992 dan PP No.6/1994, kreativitas seniman daerah mungkin tetap dapat berjalan, tapi pasti sangat tersendat-sendat. Sejauh ini tampaknya Pemerintah RI masih belum punya goodwill yang cukup tinggi untuk mencabut dan menggantinya dengan aturan yuridis yang lebih memerdekakan industri perfilman. Usulan-usulan perubahan yang dikemukakan insan perfilman masih terlihat seperti buih di tengah lautan. Padahal, kalau industri perfilman telah merdeka dari cengkraman aturan yang represif pengusaha Sumatera Barat yang bermodal kecil sekalipun akan dapat masuk ke industri sinetron dalam skala usaha rumah tangga. Artinya, di alam kemerdekaan membuat film para seniman daerah tidak perlu menunggu investor luar bermodal puluhan miliar. Dengan modal Rp 150 juta saja seorang pengusaha sudah dapat memulai kegiatannya. Menurut kebiasaan, investor kakap akan melirik dengan sendirinya bila telah mencium adanya keuntungan di balik kegairahan masyarakat berproduksi.

Di tingkat lokal keinginan pemerintah di daerah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota di Sumatera Barat, untuk mendesak Pemerintah RI agar melonggarkan tekanan terhadap industri film dan agar lebih memperhatikan perfilman daerah belum tampak sama sekali. Hal ini mungkin disebabkan selama ini persentuhan Sumatera Barat dengan dunia film baru sebatas menonton dan ikut-ikutan jadi pemain kalau ada yang datang untuk shooting. Agaknya pula pemerintah di Sumatera Barat belum sepenuhnya memperhatikan pergeseran-pergeseran dalam paradigma industri, dimana industri media audio visual makin memperlihatkan kekuatannya sebagai penyedia lapangan kerja, pendidikan masyarakat, bahkan penghasil devisa.

Oleh sebab itu, keterlibatan institusi pemerintah di Sumatera Barat, mulai dari tingkat provinsi sampai kabupaten, termasuk juga kalangan wakil rakyat di DPRD dalam memperjuangkan kebebasan industri film sangat diharapkan. Pemerintah RI harus didesak terus agar membiarkan industri perfilman daerah tumbuh secara alamiah tanpa dibebani berbagai kewajiban politik, ekonomi dan administratif yang sukar dipenuhi oleh pengusaha daerah. Bukankah di daerah seperti Sumatera Barat umumnya golongan pengusaha baru berada pada kelas kecil dan menengah?

Dengan adanya atmosfir kebebasan, kita berharap, suatu saat nanti citra ‘tidak melek film’ tidak lagi melekat pada diri seniman Sumatera Barat. Untuk itu harus ada upaya ekstra keras membangun citra sebagai sineas yang ulet, kreatif, tidak manja, dan tidak dibesarkan oleh fasilitas.

Sekian.



[1] Disampaikan dalam seminar perfilman tgl 10 Juli 2007.

[2] Pengamat film di daerah, sehari-hari bekerja sebagai dosen

Dari Perjalanan Kreatif Tangga:

Kalau Saja Ada Tangga ke Langit

Oleh Zelfeni Wimra

Kalau saja ada tangga ke langit, tentu banyak orang yang suatu waktu ingin menaikinya. Tinggalkan sejenak kehidupan dunia yang hiruk dan semakin sesak oleh ketakberaturan nilai-moral. Manusia semakin terdesak oleh kecepatan perubahan dan sangat berhasrat untuk melupakan pikiran-pikiran yang sering melompat melampaui realitas.

Tapi bukankah, kita (manusia itu) beserta hewan yang melata lainnya, telah lama terdampar sejak Adam dan Hawa diusir lantaran tidak sabar menunggu kapan saatnya menaiki tangga untuk memanjat batang Quldi dan memetik buahnya. Keterburu-buruan ternyata telah mengantar mereka -hingga ke kita- pada pilihan yang sering tidak sesuai dengan naluriah kemanusiaan itu sendiri.

Makanya, setelah berkurun-kurun melata di muka bumi, ketidakpuasan manusia terhadap realitas serta tuntutan pemenuhan kebutuhan yang penuh perebutan membuat mereka merasa lemah. Sehingga, perlu ada tambatan jiwa, tempat berlindung, dan mohon pertolongan. Tetapi tempat bernaung dan minta pertolongan itu selalu menjadi rahasia. kadang terasa tinggi sehingga diperlukan alat untuk mencapainya. Jika ketingiannya bisa dihitung jengkalan, seorang seseorag tentu tidak perlu terlalu panik memikirkan. Alternatif alat mencapai ketingian tersebut bisa saja dengan bantuan alat-alat lain.

Materi; benda kasat mata yang lazim untuk mencapai ketingian adalah tangga. Hal serupa terjadi jugakah pada proses pencapain imateri? Ketika ketingian “sesuatu” yang hendak di capai itu menyamai langit, tangga seperti apa gerangan yang bisa mengantar seorang manusia itu tadi?

Asumsi sementara dapat dinarasikan bahwa semakin banyak ketinggian, semakin beragam pula tangga yang digunakan untuk mencapainya. Serta tak terhitung bagaimana cara membuat dan menggunakan tangga.selama manusia suka ketinggian, selama itu pula tangga diperlukan. Dari sini bisa disimpul sebuah opini, bahwa aktivitas pencarian yang tinggi, tempat menemukan perlindungan tersebut akan terus berjalan sepanjang kehidupan itu sendiri.

Mengidentifikasi Ketinggian

Banyak orang menyugesti dirinya dengan sebuah istilah bijak: gantungkan cita-citamu setingi bintang di langit. Ini pekerjaan terus dilakukan manusia turun-temurun; berulang-ulang. Merancang sebuah kehidupan dengan pengandaian yang dibahanbakari imajinasi dan kehendak ingin lebih baik dari hari ke hari.

Menjadi presiden tentu amat tinggi bagi seorang tukang becak [memang tidak setingi bintang di langit], tetapi si empunya keinginan tersebut telah dihukum kausalitas. Pertama-tama ia tentu harus pintar. Bisa menguasai, misalnya bahasa Inggris dan mencapai sejumlah gelar dengan sertifikasi yang diakui. Seterusnya, ia tentu harus kaya, guna memenuhi tuntutan sistem politik yang mengharuskan seorang pemimpin bangsa punya kecakapan finansial untuk membeli massa [ini terjadi tentu tidak di Indonesia saja].

Menjadi pintar dan kaya adalah dua tangga yang mesti dilalui oleh si tukang becak jika bercita-cita jadi presiden. Dan sudah menjadi rahasia umum ketika cara mengunakan tangga untuk menncapai ketinggian yang diidam-idamkan itu juga ada teknik dan strateginya. Tidak tertutup kemungkinan, semua siasat yang dipilih tiba-tiba halal dalam hitungan jari. Perumpamaan ini bisa diteruskan ke hal lain yang terkait dengan hasrat manusia yang suka ketinggian.

Apalagi yang tinggi selain tahta dan sejumlah cita-cita manusia dalam kehidupan duniawi? Mungkin Tuhan. Tuhan Juga tinggi.

Kabar yang menggelisah inilah ditemukan dari perjalanan estetik seorang Yusril, teaterawan berdarah Minang yang intens dengan sebuah kredo ‘distorsi’ dan dekonstruksi pada proses penggarapan Tangga.

Naskah Tangga pada mulanya hanya rentetan teks puisi yang ditulis Iyut Fitra, konon setelah berdiskusi dengan Yusril. Memang bukan Yusril namanya, kalau teks puisi atau teks apa saja sudah sampai di “rumah” kreativitasnya lantas tidak ada tawaran visualisasi yang akan dibantai dengan pisau distorsi dan dekonstruksi itu tadi.

Pada penggarapan sebelumnya, Yusril pernah dipergunjingkan kritikus teater sebagai seorang arsitek yang akan membangun sebuah rumah. Barangkali itulah rumah estetik yang dirindukannya sebagai pekarya teater yang sudah melewati penempuhan panjang penciptaan. Sebelumnya, dengan mengusung nama Komunitas Hitam Putih, ia telah menggarap Jendela, Cermin, Kamar, Pintu, dan hingga kini Rumah tersebut sudah rampung. Kabarnya, Yusril juga sudah membikin taman di halamannya, tetapi nyaris lupa, rumah estetik tadi belum ada “Tangga”nya.

Konotasi sebuah rumah tanpa tangga, atau rumah tanpa jendela, dalam pembacaan Yusril sebagai orang Minangkabau ternyata menimbulkan kesan kebelumsempurnaan. Boleh dilihat pada sejumlah ungkapan bijak di Minangkabau: Bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun). Dalam konstelasi Minangkabau, ada aturan main dalam proses naik turun rumah itu. Ini lebih beralasan ketimbang Oedypus yang naik turun ke sebuah ketinggian yang tak jelas.

Kemudian ada pula keberanian-keberanian temporal yang harus dioambil secara dadakan. Berani atau nekad itu terlihat dalam indak kayu, janjang dikapiang/tabujua lalu tabalintang patah (kalau tidak ada kayu,jenjang dikeping/terbujur lalu, terbelintang patah). Tanggayang tadi dihormati pada kesempatan tertentu boleh dikeping, dihancurkan jadi kayu api buat memasak makanan atau sebagai properti untuk bangunan lain. Yang tidak boleh itu adalah berhenti berdialektika hanya gara-gara ada aral melintang.

Idiom-idiom bahkan ideologi sekitar Tangga sangat kompleks. Sebagai sebuah perjunjukan teater, Yusril tentu sudah berdamai dengan itu semua dan cara Yusril berdamai biasanya dengan membongkar elemen atau bahasa Yusril sendiri ‘individu’ rumahnya. Bahkan Tangga untuk menaikinya pun berpeluang untuk dikeping. Begitu juga mungkin terhadap pintu dan kamar-kamar di dalamnya. Bisa jadi juga, Yusril justru tidak membuat tangga untuk menaiki rumah estetiknya, tetapi malah membuat tangga menuju langit dan mengajak orang-orang meninggalkan bumi. Wah, segalanya belum utuh, masih dalam proses pembuatan menjadi sebuah pertunjukan.

Pertunjukan yang akan digelar pada 21 Juli di STSI Padangpanjang dan 27 juli di Taman Budaya Sumatera Barat ini, hasil hibah-menghibah Komunitas Hitam Putih dan yayasan kelola ini sepertinya menjadi pertaruhan bagi Yusril sebelum orang-orang ia izinkan menaiki Rumah-nya. Selama

4.7.07

Zelfeni Wimra tentang "Tangga" Hitam Putih 2007

Dari Perjalanan Kreatif Tangga:

Kalau Saja Ada Tangga ke Langit

Oleh Zelfeni Wimra

Kalau saja ada tangga ke langit, tentu banyak orang yang suatu waktu ingin menaikinya. Tinggalkan sejenak kehidupan dunia yang hiruk dan semakin sesak oleh ketakberaturan nilai-moral. Manusia semakin terdesak oleh kecepatan perubahan dan sangat berhasrat untuk melupakan pikiran-pikiran yang sering melompat melampaui realitas.

Tapi bukankah, kita (manusia itu) beserta hewan yang melata lainnya, telah lama terdampar sejak Adam dan Hawa diusir lantaran tidak sabar menunggu kapan saatnya menaiki tangga untuk memanjat batang Quldi dan memetik buahnya. Keterburu-buruan ternyata telah mengantar mereka -hingga ke kita- pada pilihan yang sering tidak sesuai dengan naluriah kemanusiaan itu sendiri.

Makanya, setelah berkurun-kurun melata di muka bumi, ketidakpuasan manusia terhadap realitas serta tuntutan pemenuhan kebutuhan yang penuh perebutan membuat mereka merasa lemah. Sehingga, perlu ada tambatan jiwa, tempat berlindung, dan mohon pertolongan. Tetapi tempat bernaung dan minta pertolongan itu selalu menjadi rahasia. kadang terasa tinggi sehingga diperlukan alat untuk mencapainya. Jika ketingiannya bisa dihitung jengkalan, seorang seseorag tentu tidak perlu terlalu panik memikirkan. Alternatif alat mencapai ketingian tersebut bisa saja dengan bantuan alat-alat lain.

Materi; benda kasat mata yang lazim untuk mencapai ketingian adalah tangga. Hal serupa terjadi jugakah pada proses pencapain imateri? Ketika ketingian “sesuatu” yang hendak di capai itu menyamai langit, tangga seperti apa gerangan yang bisa mengantar seorang manusia itu tadi?

Asumsi sementara dapat dinarasikan bahwa semakin banyak ketinggian, semakin beragam pula tangga yang digunakan untuk mencapainya. Serta tak terhitung bagaimana cara membuat dan menggunakan tangga.selama manusia suka ketinggian, selama itu pula tangga diperlukan. Dari sini bisa disimpul sebuah opini, bahwa aktivitas pencarian yang tinggi, tempat menemukan perlindungan tersebut akan terus berjalan sepanjang kehidupan itu sendiri.

Mengidentifikasi Ketinggian

Banyak orang menyugesti dirinya dengan sebuah istilah bijak: gantungkan cita-citamu setingi bintang di langit. Ini pekerjaan terus dilakukan manusia turun-temurun; berulang-ulang. Merancang sebuah kehidupan dengan pengandaian yang dibahanbakari imajinasi dan kehendak ingin lebih baik dari hari ke hari.

Menjadi presiden tentu amat tinggi bagi seorang tukang becak [memang tidak setingi bintang di langit], tetapi si empunya keinginan tersebut telah dihukum kausalitas. Pertama-tama ia tentu harus pintar. Bisa menguasai, misalnya bahasa Inggris dan mencapai sejumlah gelar dengan sertifikasi yang diakui. Seterusnya, ia tentu harus kaya, guna memenuhi tuntutan sistem politik yang mengharuskan seorang pemimpin bangsa punya kecakapan finansial untuk membeli massa [ini terjadi tentu tidak di Indonesia saja].

Menjadi pintar dan kaya adalah dua tangga yang mesti dilalui oleh si tukang becak jika bercita-cita jadi presiden. Dan sudah menjadi rahasia umum ketika cara mengunakan tangga untuk menncapai ketinggian yang diidam-idamkan itu juga ada teknik dan strateginya. Tidak tertutup kemungkinan, semua siasat yang dipilih tiba-tiba halal dalam hitungan jari. Perumpamaan ini bisa diteruskan ke hal lain yang terkait dengan hasrat manusia yang suka ketinggian.

Apalagi yang tinggi selain tahta dan sejumlah cita-cita manusia dalam kehidupan duniawi? Mungkin Tuhan. Tuhan Juga tinggi.

Kabar yang menggelisah inilah ditemukan dari perjalanan estetik seorang Yusril, teaterawan berdarah Minang yang intens dengan sebuah kredo ‘distorsi’ dan dekonstruksi pada proses penggarapan Tangga.

Naskah Tangga pada mulanya hanya rentetan teks puisi yang ditulis Iyut Fitra, konon setelah berdiskusi dengan Yusril. Memang bukan Yusril namanya, kalau teks puisi atau teks apa saja sudah sampai di “rumah” kreativitasnya lantas tidak ada tawaran visualisasi yang akan dibantai dengan pisau distorsi dan dekonstruksi itu tadi.

Pada penggarapan sebelumnya, Yusril pernah dipergunjingkan kritikus teater sebagai seorang arsitek yang akan membangun sebuah rumah. Barangkali itulah rumah estetik yang dirindukannya sebagai pekarya teater yang sudah melewati penempuhan panjang penciptaan. Sebelumnya, dengan mengusung nama Komunitas Hitam Putih, ia telah menggarap Jendela, Cermin, Kamar, Pintu, dan hingga kini Rumah tersebut sudah rampung. Kabarnya, Yusril juga sudah membikin taman di halamannya, tetapi nyaris lupa, rumah estetik tadi belum ada “Tangga”nya.

Konotasi sebuah rumah tanpa tangga, atau rumah tanpa jendela, dalam pembacaan Yusril sebagai orang Minangkabau ternyata menimbulkan kesan kebelumsempurnaan. Boleh dilihat pada sejumlah ungkapan bijak di Minangkabau: Bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun). Dalam konstelasi Minangkabau, ada aturan main dalam proses naik turun rumah itu. Ini lebih beralasan ketimbang Oedypus yang naik turun ke sebuah ketinggian yang tak jelas.

Kemudian ada pula keberanian-keberanian temporal yang harus dioambil secara dadakan. Berani atau nekad itu terlihat dalam indak kayu, janjang dikapiang/tabujua lalu tabalintang patah (kalau tidak ada kayu,jenjang dikeping/terbujur lalu, terbelintang patah). Tanggayang tadi dihormati pada kesempatan tertentu boleh dikeping, dihancurkan jadi kayu api buat memasak makanan atau sebagai properti untuk bangunan lain. Yang tidak boleh itu adalah berhenti berdialektika hanya gara-gara ada aral melintang.

Idiom-idiom bahkan ideologi sekitar Tangga sangat kompleks. Sebagai sebuah perjunjukan teater, Yusril tentu sudah berdamai dengan itu semua dan cara Yusril berdamai biasanya dengan membongkar elemen atau bahasa Yusril sendiri ‘individu’ rumahnya. Bahkan Tangga untuk menaikinya pun berpeluang untuk dikeping. Begitu juga mungkin terhadap pintu dan kamar-kamar di dalamnya. Bisa jadi juga, Yusril justru tidak membuat tangga untuk menaiki rumah estetiknya, tetapi malah membuat tangga menuju langit dan mengajak orang-orang meninggalkan bumi. Wah, segalanya belum utuh, masih dalam proses pembuatan menjadi sebuah pertunjukan.

Pertunjukan yang akan digelar pada 21 Juli di STSI Padangpanjang dan 27 juli di Taman Budaya Sumatera Barat ini, hasil hibah-menghibah Komunitas Hitam Putih dan yayasan kelola ini sepertinya menjadi pertaruhan bagi Yusril sebelum orang-orang ia izinkan menaiki Rumah-nya. Selamat bertandang.

Sudarmoko, tentang proses hitamputih

Tentang Proses Produksi Komunitas Hitam Putih
Eksplorasi “Jenjang” dan Tawaran Artistik Pentas
Oleh Sudarmoko

Eksplorasi properti sebagai alat perekat sebuah pertunjukan teater masih menjadi mainstream yang digunakan dalam beberapa karya teater di tanah air. Setidaknya, titik berangkat pertunjukan terobsesi dari bagaimana properti dapat dieksplorasi dan dijadikan tumpuan utama pertunjukan. Demikian juga dengan proses produksi teater Komunitas Hitam Putih, bertajuk Jenjang, yang menitikberatkan pada elaborasi dan eksplorasi properti dalam garapannya. Produksi ini menjadi bagian dari program Hibah Kelola 2007 dan rencananya akan dipentaskan di STSI Padangpanjang 21 Juli 2007 dan di Taman Budaya Sumatra Barat di Padang pada 27 Juli 2007.
Fenomena ini barangkali dapat dilihat bagaimana jenjang, misalnya, dapat mereferensikan sesuatu ketika dimainkan atau diolah oleh pemain. Bagaimana bentuk konfigurasi yang dapat dimainkan oleh variasi yang dapat dimungkinkan. Ketika berpikir tentang jenjang, beberapa referensi muncul: jalan menuju kekuasaan, tahapan-tahapan dalam sebuah proses, jungkat-jungkit yang menimbang sesuatu, rel yang hitam lurus dan panjang, dan seterusnya. Referensi ini mungkin masih pada permukaan. Kita masih dapat menambahkannya lagi dari berbagai hubungan referensial yang lain. Misalnya dalam pepatah Minangkabau, berjenjang naik bertangga turun, yang merangkum pandangan filosofis dan politis tentang sistem pemerintahan yang merupakan kompromi dari kelompok Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Pepatah ini mengindikasikan sistem yang bersifat bottom up dan top down untuk digunakan sekaligus.
Tarik menarik antara dua kekuatan aliran ini berlangsung terus, dengan ciri khas yang masih dianut oleh masing-masing kelompoknya. Namun, bertangga naik berjenjang turun juga menjadi alternatif bagi kelompok yang memiliki kecenderungan untuk mengompromikannya. Pandangan ini juga yang menjadi perhatian utama dari naskah pertunjukan Jenjang yang disutradarai oleh Yusril ini. Dualisme dan tarik menarik seperti ini akan dapat digunakan sebagai perekat pertunjukan dan menjalin konflik dalam keseluruan pementasan. Dengan demikian, suspense yang yang diharapkan hadir dalam pementasan dapat dijaga keberlangsungannya. Saya tidak tahu pasti apakah Yusril sadar dan memanfaatkan peluang ini atau tidak.
Saya berkesempatan untuk menyaksikan proses latihan ini beberapa waktu yang lalu. Tarik menarik antara dua kutub ini masih belum disinggung dalam latihan. Namun demikian, Yusril tampaknya akan mengarah ke soal ini. Setidaknya, hal ini tampak dari elaborasi yang dilakukan oleh Yusril dan kawan-kawan. Ada peluang untuk memasuki ranah filosofis dan politis ini melalui pembagian ruang dan penggunaan properti dalam masing-masing babakan. Apalagi bila hal ini didukung oleh pemanfaatan properti yang akan menjadi daya tarik dari pertunjukan ini. Pembagian ruang yang telah ditemukan selama proses latihannya sesungguhnya menarik untuk dicermati. Yusril membagi stage dengan memanfaatkan propertinya. Setidaknya ada tiga level: di atas pentas, di atas jenjang, dan di dinding belakang pentas. Ketiga level ini dapat memberikan masukan penting dalam penggunaan pentas yang biasa terjadi dalam pentas teater. Tentu saja bila Yusril dapat menghadirkan capaiannya ini dengan baik.
Bagi pemain, saya melihat ada peluang lain yang belum maksimal dilakukan. Bisa jadi, bermain dengan properti dapat menjadi pedang bermata dua. Bila pemain tidak akrab dengan properti, maka properti hanya akan menjadi beban dan menghambat laju permainan. Properti akan memenuhi pentas tanpa memiliki nilai artistik bila tidak dimanfaatkan oleh pemain. Namun bila hal ini dapat diatasi, bisa jadi pemain dapat menggunakan properti menjadi medium yang mendukung permainan. Pada tingkat tertentu, bermain dengan properti keras seperti ini membutuhkan presisi dan hubungan yang intim antara pemain dan properti.
Pemain belum sepenuhnya memiliki gambaran dan pengalaman emosional dengan properti Jenjang. Ini sebenarnya dapat diatasi dengan lebih mendalam memikirkan dan menghadirkan pengalaman mereka dengan jenjang. Tindakan emosional ini akan membantu pemain dalam memperlakukan jenjang yang dibawa, dinaiki, atau diperebutkan. Jika pemain tidak memiliki pengalaman ini, bisa jadi akan tampak kekakuan dan kehilangan akal dan berhadapan dengan properti mereka sendiri.
Menurut informasi, Yusril menggunakan latihan bantu Capuera untuk latihannya ini. Dan waktu yang digunakan untuk berlatih dengan properti ini mungkin akan menjadi masa yang menguntungkan dalam proses latihannya. Apalagi, Yusril dalam sebagian besar produksi teaternya, selalu menggunakan properti sebagai mediumnya. Sesuatu yang menarik secara visual dan pendalaman ceritanya.
Naskah Jenjang ini berasal dari puisi yang ditulis oleh Iyut Fitra. Dengan menggunakan puisi, tentu saja dialog atau narasi yang ada memiliki kedalaman sastrawi dan patut untuk digunakan secara cermat. Masing-masing kata dipilih dan ditempatkan dengan isian dan makna yang ambigu. Di sinilah mungkin satu peluang lagi dapat dipikirkan oleh Komunitas Hitam Putih dalam menghadirkan peristiwa yang diangkat dalam pertunjukannya ini.
Persoalan jenjang, mungkin bukan sekadar tangga atau pijakan. Dari sini akan muncul pemaknaan baru yang mungkin saja akan sangat menarik untuk ditonton.


Sudarmoko, peminat seni, tinggal di Padang.

23.6.07

Absurdisme Delire A Deux

Oleh Sahrul N

Kesan pertama yang menonjol setelah menonton teater Delire A Deux (Kura-Kura dan Bekicot) karya Ionesco, saduran Darnoto, sutradara Kurniasih Zaitun, di gedung pertunjukan Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 15 April 2005 adalah suara-suara perang (bom, rentetan bunyi senapan, dan bentakan orang-orang di belakang panggung). Suara tersebut seakan memecah kebekuan kalimat absurd yang dilontarkan tokoh Lelaki (Jamal) dan tokoh Perempuan (Ayu) yang masing-masing memiliki kebenaran dan kesalahan sendiri-sendiri. Tidak ada yang salah di antara keduanya dan tidak ada yang benar di antara keduanya, dan juga tidak ada penyelesaian. Semua masalah berseliweran satu sama lain menjadi ikon-ikon persoalan tanpa kesimpulan. Kesimpulan merupakan hak sepenuhnya dari penonton yang menyaksikan. Hal ini merupakan ciri dari teater absurd Ionesco, Samuel Becket, Albert Camus, Sartre, dan lain-lain. Tidak ada yang digurui dan tidak ada yang menggurui. Penonton merupakan penikmat aktif dari peristiwa-peristiwa yang hadir di atas panggung.

Peristiwa dimulai dengan bunyi bom dan rentetan senapan mesin yang keluar dari keyboard yang diolah Darminta lewat sound syestem yang berkekuatan tinggi. Dua tokoh (Lelaki dan Perempuan) yang berprilaku kura-kura dan bekicot mulai menggeliatkan badannya merespon bunyi tersebut. Keduanya seperti tertekan oleh kondisi perang yang hadir dalam ruang-ruang ketakutan. Saat bunyi peperangan menghilang keduanya selalu bertengkar tentang kebenaran masing-masing. Hanya suara bom dan rentetetan senapan mesin yang menyatukan mereka dalam ketakutan. Lalu bertengkar lagi, menyatu lagi dalam ketakutan, bertengkar lagi, begitu seterusnya tanpa ada yang terselesaikan.

Pertunjukan yang berdurasi sekitar 70 menit ini mencoba memberdayakan ikon-ikon dari properti yang digunakan. Baskon dan tutup nasi dimultifungsikan semaksimal mungkin membentuk makna-makna tertentu. Ketika makna satu muncul dari properti yang digunakan kemudian dihancurkan oleh makna-makna lain. Penghancuran ikon ini merupakan gejala dekonstruktif yang menjadi ciri dari pertunjukan ini. Untuk bisa menuju pada penghancuran ikon, kedua tokoh harus memaksimalkan pola akting dengan konsep atraktif dari Mayerhold. Ini bisa dilihat dari brosur yang diberikan kepada penonton bahwa seorang aktor harus bisa melakukan kegiatan di atas pentas yang berbeda dengan kegitatan sehari-hari. Teatrikalisme merupakan kehidupan distilisasi (digayakan) dan bahkan dirusak (didistorsi) untuk tujuan-tujuan teater.

Keinginan dari naskah Ionesco adalah persoalan ketegangan pikiran yang mengacu pada absurdisme. Lakon absurd diistilahkan oleh Esslin (dikutip dari Bakdi Soemanto) sebagai pure theatre yang ciri-ciri aktingnya seperti yang terdapat dalam pertunjukan sirkus, akrobat, dan sebagainya. Gerakan pemain dalam pertunjukan absurd tidak mempunyai makna, walaupun mempunyai fungsi tertentu. Gerakan mereka berbeda dengan gerakan penari yang merupakan simbol-simbol. Dengan kata lain, gerakan itu tidak mempunyai acuan di luar gerakan itu sendiri. Akan tetapi dalam pertunjukan ini ada sedikit penyimpangan dalam mengolah gerak para tokoh dari gerak yang diinginkan absurdisme. Gerak terlalu tertata (rapi) bahkan hampir menyerupai gerak tari kontemporer, terutama gerak dari tokoh Perempuan.

Ionesco seperti yang dikutip oleh Styan pernah mengatakan bahwa dalam lakon absurd, tokoh-tokohnya tampil sebagai characters without character. Tokoh tanpa watak yang sebenarnya suatu wujud transformasi dari peristiwa sehari-hari yang tidak banyak disadari orang. Banyak kalimat-kalimat konyol yang dilontarkan oleh kedua tokoh yang menurut pemikiran logis tidak akan pernah diucapkan oleh manusia seperti apa adanya. Kalimat-kalimat tersebut hanya diucapkan oleh manusia sakit (gila) atau manusia yang tidak menyadari bahwa dirinya manusia (hilang kesadaran).

Absurdisme Delire A Deux karya Ionesco berkaitan erat dengan pandangan filsafat eksistensialisme yang mengajarkan bahwa yang paling nyata dan konkret hanyalah eksistensi yang bersifat individual atau hanya yang pernah dialami yang bisa disebut kenyataan. Kedua tokoh (Lelaki dan Perempuan) berada dalam suatu ruang (space) dimana lokasi fisik atau raga berada disuatu tempat diantara lokasi perang dua kelompok yang bertikai. Mereka tidak bisa keluar dari kenyataan tersebut. Gambaran peperangan kedua kelompok yang bertikai seperti gambaran kedua tokoh yang selalu bertengkar. Anehnya adalah ketika suara bom dan rentetan senapan yang menandakan peperangan kedua kelompok saat itu pula kedua tokoh menyatu. Sedangkan saat bunyi peperangan hilang saat itu pula pertengkaran kedua tokoh semakin menjadi. Di sini terlihat bahwa tidak akan pernah hidup itu damai. Perang bisa membuat meraka menyatu dalam ketakutan, akan tetapi pada saat kedamaian muncul, muncul pertengkaran keluarga. Lalu kapan ada kedamaian? Menurut pemikiran absurd kedamaian tidak akan pernah terjadi.

Ketidakberdayaan kedua tokoh merupakan ciri lakon absurd. Banyaknya percobaan nuklir, perang terus menerus, pembunuhan massal akibat perang dunia yang disaksikan oleh Ionesco yang lahir tahun 1912 menjadi inspirasi kreatif. Manusia berhadapan dengan tindakan-tindakan mengerikan tanpa bisa keluar dari kenyataan tersebut. Permenungan Ionesco tentang kehadiran manusia merupakan reaksi dari kondisi manusia itu sendiri yang nyata, tidak hanya lewat spekulasi pikiran.

Alur bagi lakon Delire A Deux tidak begitu penting, yang penting adalah masalah atau peristiwa-peristiwa yang diulang-ulang. Pengulangan tanpa makna seperti yang ditulis Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus juga merupakan ciri lakon absurd. Hal ini sangat berbeda dengan lakon-lakon lain seperti realisme dan sebagainya.***

Sahrul N., S.S., M.Si., adalah dosen Jurusan Teater STSI Padangpanjang

HASAN - AKTOR

ROSA MANDEZZ

3.6.07

HASAN

TOMI - AKTOR

MEONG - AKTOR

ANDI JEGER - AKTOR

TOMSING - AKTOR

Lakon "Menunggu" Dipentaskan

Sebelum tampil di Teater Utan Kayu Jakarta, Komunitas Seni Hitam Putih dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, Sumbar, akan mementaskan lakon Menunggu karya/sutradara Yusril, Sabtu (15/1), di Gedung Teater Utama Taman Budaya Propinsi Sumbar.

Sutradara Yusril mengatakan, didukung 12 pemain dan penata musik Darminta dan Asranul Fitri, Komunitas Seni Hitam Putih mencoba menawarkan konsep teater semiotik, bergerak di sudut-sudut pencarian yang orijinal. "Labirin teater yang selama ini menutup pluralisme, hadir dalam getar-getar seni pertunjukan," katanya, Senin di Padang.

Sejak berdiri empat tahun lalu, Komunitas Seni Teater Hitam Putih-sebelumnya bernama Teater Plus-telah mementaskan Hamba-Hamba, Rumah Berpintu Lima, Interne, Pledoi, Raker (Ranting-ranting Kering), Plasenta, Kronis, Menunggu, dan Kolaborasi Cindua Mato. Semuanya karya/Sutradara Yusril. Lakon-lakon tersebut dipentaskan di Balai Dang Merdu Pekanbaru, Taman Budaya Sumbar, INS Kayutanam, STSI Padangpanjang, Taman Budaya Jambi, Taman Budaya Bengkulu, dan dalam acara BKS PTN Seni di Yogyakarta. Selain itu mereka juga mementaskan Perguruan karya Wisran Hadi di Taman Ismail Marzuki Jakarta dan Ring karya Wisran Hadi di Taman Budaya Sumbar di Padang.***

Yurnaldi, Kompas, Rabu, 12 Januari 2000

26.5.07

Pertunjukan AFRIZAL HARUN

Latar Belakang Kreativitas

Mengenal teater bermula di INS Kayutanam pada tahun 1995 dengan kelompok Teater Plus INS Kayutanam yang didirikan pada tahun 1993, yaitu sebagai pemain dalam naskah Aggun Nan Tongga karya Wisran Hadi, sutradara Yusril. ketika itu, teater merupakan bagian program studi minat kerohanian disamping minat-minat yang lain seperti olah raga, musik, desain grafis, ketaqwaan, seni rupa, dan tari. Pada awalnya, Afrizal Harun yang memiliki nama populer yaitu Babab adalah siswa yang mengambil program studi desain grafis, karena program studi desain grafis juga merupakan program studi yang cukup populer sehingga siswa-siswa INS satu angkatan dengan Afrizal mayoritas mengambil minat desain dan sebagian lagi mengambil minat studi tentang teater, seni rupa, olah raga dan ketaqwaan. Pada pertengahan tahun 1997, Afrizal terlibat sebagai penata artistik dalam pentas Menunggu karya/sutradara Yusril dalam event pertemuan teater se-Indonesia di Taman Budaya Pekan Baru, dalam event inilah muncul ketertarikan dalam dirinya untuk menyentuh dan ingin memelajari teater itu secara keilmuan maupun secara praktikal. Pada tahun 1997, Afrizal mengambil minat program studi teater dan mundur dari minat program studi desai grafis. Ketika proses untuk persiapan pentas Menunggu dalam event Pertemuan Sasterawan Nusantara ke-IX di INS Kayutanam yang dihadiri oleh tokoh-tokoh sasterawan, budayawan, dan kreator seni seperti Radhar Panca Dahana, Ratna Sarumpaet, Rendra, Yoserizal Manua, Sasterawan Malaysia, sasterawan Singapore, sasterawan Filipina dan lain-lain. Pentas ini merupakan entry poin bagi Yusril (sutradara) dalam strategi agar teater plus sebagai teater sekolahan dapat dilihat kontribusinya secara lokal, nasional maupun internasional. Pada event inilah, Afrizal ditawari Yusril sebagai pemain dalam pentas tersebut.

Pada tahun 1998, setelah tamat dari INS Kayutanam. Afrizal Harun melanjutkan studi teaternya di STSI Padangpanjang dengan mengambil Jurusan Teater. Walaupun dalam situasi Jurusan teater yang tergolong masih muda, berdiri pada tahun 1997 tentunya mengalami kendala-kendala dalam hal kurikulum, fasilitas, dan staf pengajar profesional yang belum sempurna (perfect) sehingga banyak mata kuliah-mata kuliah yang tumpang tindih ketika itu. Tapi, karena alasan ingin mendalami disiplin teater itu secara keilmuan maupun secara praktikal, Afrizal sering terlibat dalam proses teater secara akademis maupun non akademis di STSI Padangpanjang. Seperti terlibat dalam pertunjukan Plasenta karya/sutradara Yusril dalam event BKSPTN di STSI Padangpanjang pada tahun 1999. pada tahun 2000, pentas Menunggu karya/sutradara ayusril di TUK (teater utan kayu) Jakarta. Dan pada tahun ini juga, Afrizal mengawali menjadi sutradara secara akademis dalam naskah Pernikahan Perak karya John Bown. Geliat teater yang tidak hanya sekedar hobi, tetapi lebih kepada arah yang profesional, Afrizal terus mendalami teater baik sebagai sutradara, pemain maupun penata artistik. Sebagai sutradara karya-karyanya yaitu Pernikahan perak (2000), Euforia Malin (2002), Wek-Wek (2002), Macbett (2003), Hanya Satu Kali (2004), Noodle Dodle Box (2004), Dunia Mesin Jahit (2006), Api Revolusi PDRI (2007) dan sekarang sedang persiapan proses karya teater dengan judul ZONA X (sebuah nyanyian dari negeri sunyi). Sebagai aktor, Afrizal juga cukup aktif dalam berbagai pementasan di Padangpanjang, Padang, Jambi dan Jakarta seperti dalam pentas Menunggu (1997-2000), Plasenta (1999), Nyanyian Angsa (2000), Antigone (2000), Pintu (2002), Pinangan (2003), Domba-domba revolusi (2003), Insan-Insan Malang (2004), Anggun Nan Tongga (2005), Hamlet Machine (2005), Dimana Tanda Silang Tertera (2007), Kawin Paksa (2007), Hanya Satu Kali (2007). Sebagai penata Artistik seperti dalam karya Tanda Silang (2004), Karya Tari Cindua Mato (2004), karya tari Tungku Tigo Sajarangan (2005), Penata Cahaya dalam karya tari Batu (2005), Pengantin Ombak (2005), Apologia Socrates (2005) dan lain-lain.

Afrizal menyelesaikan studi di Jurusan Teater di STSI Padangpanjang, satu hari pasca kejadian tsunami di Aceh yaitu pada tanggal 27 Desember 2004. inilah hari yang cukup bersejarah bagi seorang Afrizal yang tetap konsisten dalam memilih dunia teater sebagai kerja profesi pada waktu selanjutnya. Untuk menghidupi teater sebagai karya seni, tentunya ada penunjang lain yang menyangkut persoalan finansial agar proses teater tetap berjalan sebagaimana mestinya, karena bagaimanapun perhatian pemerintah daerah, funding lokal, maupun nasional belum menjadikan kesenian yang satu ini menjadi hal yang prioritas. Sehingga setiap pertunjukan, para kelompok seni (teater) tidak ubahnya sebagai seorang pengemis dengan modal proposal untuk mendapatkan uang untuk biaya proses dan pementasan. Untuk menjadikan teater sebagai kerja profesi, maka Afrizal membangun strategi dengan mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di STSI Padangpanjang sebagai staf pengajar di Jurusan Teater STSI Padangpanjang pada bulan Februari 2006. Pada bulan April 2006, Afrizal diterima sebagai staf pengajar di Jurusan Teater STSI Padangpanjang sampai sekarang.

Sebagai kendaraan kreatifitasnya, Afrizal terlibat aktif dalam komunitas independen yaitu komunitas seni HITAM PUTIH Sumatera Barat semenjak 1998 pimpinan Yusril. komunitas ini bergerak dibidang pengembangan seni dan budaya seperti Teater, Tari, Musik, Seni rupa dan Film. Kehadiran komunitas ini jelas telah memberikan kontribusi yang sangat berarti untuk pengembangan seni dan budaya di Sumatera Barat maupun secara nasional sehingga aktifitas komunitas ini sudah tercatat dalam directory teater Indonesia. HITAM-PUTIH memiliki filosofi yaitu berjelas-jelas artinya disini adalah bahwa komunitas merupakan ruang demokratisasi dalam hal manajemen yang transparan, terbuka, dan berusaha menjadi sebuah wadah yang populer maupun populis dikalangan pencinta seni secara lokal maupun nasional. Pada tahun 2007 ada tiga program pentas teater komunitas seni HITAM-PUTIH yaitu di tunggu Dogot, karya Sapardi Djoko Damono/sutradara Kurniasih Zaitun pentas di Taman Budaya Solo dan TIM Jakarta, Tangga, karya/sutradara Yusril (Hibah Yayasan Kelola) Pentas di STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatera Barat dan Zona X (Nyanyian dari negeri sunyi) karya/sutradara Afrizal Harun pentas di Taman Budaya Sumatera Barat, Jambi, TIM Jakarta dan Surabaya. Juga pentas Tari Ali Sukri di Solo, Pemutaran Film In-Doc dan lain-lain.

Beberapa Konsep Pertunjukan

1. Hanya Satu Kali Karya Jhon Galsworthy dan Robert Midlemand

Sinopsis

Sudarso (bukanlah nama sebenarnya) merupakan seorang narapidana yang akan di eksekusi mati karena kasus pembunuhan berencana. Ia termasuk salah seorang narapidana yang membuat kepala penjara dan ulama panik, karena sikapnya sangat baik selama enam bulan ia di penjara itu. Ia tidak pantas di eksekusi sebagai seorang manusia, tapi karena alasan hukum dan undang-undang, eksekusi harus dilaksanakan. Ia tetap tegar dan konsisten dengan alasan sebuah keyakinan ideologi. Ia tidak ingin semua orang tahu tentang sejarah hidupnya terutama kepada keluarganya karena ia tidak ingin menimbulkan beban penderitaan kepada adik dan ibu yang sudah puluhan tahun ditinggalkannya. Ia ingin mati sebagai pahlawan dengan tenang dan damai.

Penulis naskah ini adalah seorang pengarang dari Inggeris bernama Jhon Galsworthy. Ia dilahirkan di Coombe Surrey pada tanggal 14 Agustus 1867. Jhon Galsworthy merupakan seorang tokoh yang ahli dalam hal puisi, novelis, dan juga merupakan tokoh penting dalam bidang drama. Ia memperoleh pendidikan di Harrow, kemudian di New College, Oxford. Tahun 1929, ia mendapat penghargaan Order of Meri dan pada tahun 1932, ia menerima hadiah nobel dalam bidang literatur. Pada tanggal 31 Januari 1933, Jhon Galsworthy meninggal dunia di London akibat penyakit animea kronis yang di deritanya. Karya-karya Jhon Galsworthy dalam bidang drama seperti The Skin Game ( 1920), Loyalitas (1922), dan Escape (1926).

Hanya Satu kali adalah naskah yang saya garap pertama kali pada tahun 2004 sebagai proses dalam memahami realisme secara keilmuan dan praktek. Naskah ini dimainkan oleh Jamaluddin Syarief yang berperan sebagai kepala penjara, Akhbarudin berperan sebagai ulama, Ariswandi berperan sebagai Sudarso, Fauziah Azizah berperan sebagai tokoh Gadis dan Dedi Darmadi berperan sebagai Opas. Dalam penggarapan kali ini, saya mencoba menghadirkan pemain yang berbeda namun masih ada dua tokoh yang bermain dengan peran yang sam. Yusril berperan sebagai Sudarso, Sahrul N berperan sebagai kepala penjara, Afrizal Harun berperan sebagai tokoh Ulama, Fauziah Azizah berperan sebagai tokoh Gadis dan Dedi Darmadi tetap berperan sebagai Opas.

Hanya satu kali adalah sebuah judul yang ditujukan untuk sebuah kematian, dan itu di alami oleh semua makhluk hidup dimuka bumi ini, apakah itu manusia, binatang ataupun tumbuh-tumbuhan. Karena bicara kematian merupakan sesuatu yang tidak bisa terjadi dua, tiga, empat, atau digantikan karena bagaimanapun persoalan kematian adalah titik akhir dari siklus kehidupan yang dimulai dari proses lahir, proses tumbuh, proses berkembang, proses layu (tua) dan kemudian mati. Konteks kematian di sini lebih ditujukan kepada manusia. Hanya satu kali merupakan idiom, bahwa kehidupan manusia akan berakhir tanpa ada proses negoisasi, maupun tawar menawar kalau memang ia akan ditakdirkan untuk mati.

Dalam naskah Hanya satu kali karya Jhon Galsworthy dan Robert Midlemand adalah konteks cerita (lakon) tentang kematian manusia dengan cara di eksekusi yang di alami oleh seorang tokoh yang memilki nama samaran yaitu Sudarso. Eksekusi mati (apakah dipenggal, digantung, dibius, atau disetrum) adalah sebuah solusi bagi hukum dan undang-undang untuk membunuh seseorang tanpa memikirkan sisi kemanusian individu itu sendiri, karena bagaimanapun hukum dan undang-undang menjadi alat untuk melegitimasi kebenaran tanpa mempertimbangkan akar persoalan kenapa ia harus di eksekusi mati. Ideologi tidak lagi berarti apa-apa apabila hukum dan undang-undang berbicara, orang yang benar bisa menjadi salah dan orang orang salah bisa menjadi benar tergantung di mana kekuasaan itu meletakkan akar kebenaran itu. Inilah yang dialami oleh tokoh Sudarso. Ia menyadari bahwa perbuatannya sangat beresiko terhadap kematiannya, tapi demi sebuah ideologi yang diyakini, ia men erima keputusan sebagai terdakwa yang akan dihukum mati. Karena ia merasa, telah menjadi tokoh yang heroik dalam membunuh seseorang untuk menyelamatkan ratusan bahkan jutaan orang (walaupun di dalam naskah tidak dijelaskan siapa tokoh berpengaruh yang telah dibunuhnya).

Di sisi lain, dapat kita lihat bahwa tokoh Sudarso merupakan seorang yang memiliki paradigma berfikir yang konsisten, tegas, dan logis. Tetapi, dia telah menjadi korban hukum dan undang-undang sehingga keyakinan dan tekad dapat saja diluluh lantakkan dan ia dikalahkan oleh sistem hukum dan undang-undang yang tidak memiliki keberpihakan terhadap apa yang telah diperbuatnya, itulah ironisnya.

Ada beberapa cara pandang dalam mendekati persoalan yang dialami oleh tokoh Sudarso yaitu secara sosial, psikologi dan agama. Secara sosial, tokoh Sudarso meyakini sebuah ideologi dalam hal menolak sebuah sistem yang bertolak belakang dalam cara pandang berfikir dan filsafatnya. Ia, sangat menghargai masyarakat dalam konteks kemanusiaan. Dan apabila masyarakat telah menjadi objek penindasan maka ia harus melakukan sesuatu demi ideologi yang ia yakini walaupun tindakan tersebut sangat bertentangan dengan hukum dan undang-undang yaitu membunuh seorang manusia yang dianggap berpengaruh dalam melakukan penindasan terhadap masyarakat dengan sadar dan terencana. Itulah kebenaran sosial yang diyakininya. Walaupun resiko yang akan diterimanya adalah eksekusi mati. Secara psikologi, dia termasuk tokoh yang tidak mencoba menganalisis dampak dari tindakannya, dia sangat reaktif dengan alasan membela kebenaran sehingga tokoh Sudarso termasuk tokoh yang lebih mendahulukan perasaan daripada rasionalitas sehingga ia membunuh manusia tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan orang yang dibunuhnya itu. Tapi itulah tekad, dia harus melakukannya. Secara Agama, persoalan membunuh adalah sesuatu tindakan yang dilarang karena hal itu berkaitan dengan persoalan dosa dan pahala. Maka dalam lakon ini, apa yang dilakukan oleh Sudarso dan apa yang dilakukan oleh Hukum dan undang-undang merupakan hal yang ditentang oleh agama, yaitu sama-sama membunuh orang walaupun caranya berbeda karena bagaimanapun eksekusi mati merupakan tindakan pembunuhan. Itulah yang menjadi persoalan dalam mencari jawaban kenapa kita harus membunuh. Itulah yang menjadi dasar ketertarikan saya sebagai sutradara terhadap naskah lakon ini dengan berbagai alasan yang sudah dipaparkan di atas.

Mengingat naskah ini merupakan naskah realis, maka Secara struktur, Hanya Satu Kali memiliki struktur lakon Aristotelean yang terdiri dari alur yang dimulai dari eksposisi, konflikasi, klimaks, anti-klimaks, resolusi dan konklusi. Secara penokohan, naskah Hanya Satu Kali memiliki enam tokoh yaitu Kepala penjara (tokoh antagonis), Ulama (tokoh foil), Sudarso (tokoh protagonis), Gadis (tokoh detragonis) dan Opas (tokoh utility). Peristiwa lakon terjadi di dalam ruangan kepala penjara, pada pukul 23.00 menjelang eksekusi dilaksanakan, di sebuah perkotaan pada tahun 90-an.

Tahapan Kerja

  1. Visi (impian, harapan, cita-cita dan tujuan penggarapan)
  2. Menentukan naskah
  3. Analisis teks
  4. Casting
  5. Metode penciptaan/penyutradaraan
  6. dan desain

Karena naskah Hanya Satu Kali ini merupakan naskah realis yang berbentuk tragedi, tentunya saya memiliki beberapa metode penciptaan pertunjukan yaitu, metode penyutradaraan yang presentatif (menghadirkan naskah apa adanya ke atas panggung tanpa adanya proses rekonstruksi maupun dekonstruksi) namun untuk kebutuhan penyutradaraan kali ini, saya sebagai sutradara menjadikan nama tokoh sudarso menjadi Irmansyah (nama Tono Rono Sisworo diganti dengan Khairil Jasmi Anwar) dan nama Sulastri Rono Sisworo diganti dengan Sulastri Jasmi Anwar. Alasan saya untuk merubah nama ini adalah untuk menghadirkan situasi laku yang universal, tidak mewakili kultur daerah tertentu.

Metode pemeranan bagi tiap aktor yang presentatif juga yaitu melalui pendekatan sistem pelatihan yang dikembangkan oleh Constatin Stanilavsky yaitu ineer act (suatu bentuk akting yang lahir dari dalam diri seorang aktor dan tidak dibuat-buat) dan to be (merupakan sebuah teknik untuk menjadi tokoh yang diidealkan dalam naskah lakon menyangkut hal fisik, psikologi dan sosiologi tokoh yang sesuai dengan keinginan lakon). Secara bentuk setting, saya sebagai sutradara menghadirkan setting realis yang meliputi ruang kepala penjara (dinding depan imajiner) yang terdiri dari (meja kepala penjara, kursi tamu, bendera, foto presiden dan wakil presiden), ruang tunggu, gerbang menuju penjara (arah ke belakang). Handprop aktor terdiri dari borgol, amplop berisi uang, tas, tasbih dan lain-lain. Kostum untuk aktor dalam pertunjukan ini disesuaikan dengan konteks naskah yaitu kostum kepala penjara, kostum ulama, kostum narapidana untuk tokoh Sudarso, kostum opas dan kostum keseharian untuk tokoh Gadis. Rias yang dipergunakan dalam pertunjukan ini adalah rias panggung yang disesuaikan dengan karakter dan situasi masing-masing tokoh. Karena secara struktur peristiwa ini terjadi pada malam hari menjelang eksekusi dilaksanakan, maka format pencahayaan (lighting) dalam pertunjukan ini menggunakan karakter warna yang suram seperti warna netral redup, kuning, merah dan biru untuk mencocokkan dengan suasana pertunjukan. Dalam pertunjukan ini, saya sebagai sutradara menghadirkan musik live (langsung) yang terdiri dari Cello, Biola, Gitar, Harmonika untuk menghadirkan ilustrasi-ilustrasi lewat musik agar suasana tragik yang diinginkan dapat dicapai dengan baik. Tentunya untuk mencapai hal di atas untuk lebih sempurna maka diperlukan pembentukan tim manejerial, tim produksi, dan round down kegiatan penyutradaraan seperti : proses reading, pembagian tokoh, blocking, latihan dengan musik, latihan dengan kostum, GR dan pertunjukan.

Tim Produksi

Pimpinan Produksi : Wira Mustika
Dramaturg : Dede Prama Yoza
Manejer Panggung : Hasan
Humas : Husin
Publikasi : Adriyandi
Dokumentasi Visual : Defri
Dokumentasi Foto : Yose

Tim Artistik

Pemain : Yusril Sebagai Irmansyah, Sahrul N Sebagai Kepala Penjara, Afrizal Harun Sebagai Ulama, Fauziah Azizah sebagai Sulastri,Dedi Darmadi sebagai Opas
Penata Setting : Syafriandi Afridil
Penata Lampu : Djoefry HBR
Penata Musik : Dharminta Soeryana
Penata Rias : Citra Novelia
Penata Kostum : Rini
Sutradara : Afrizal Harun

Pentas di Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 20 Juli 2007.

2. Kotakku Rumahku (Doodle Box) Karya Paul Maar

Naskah ini di tulis pada tahun 1972 oleh Paul Maar seorang berkebangsaan Jerman. Ia pada tanggal 13 Desember 1937 di Schweinfurt. Pada ahun 1979, naskah asli Paul Maar dierjemahkan oleh Anita dan Alex Page ke dalam bahasa Inggeris dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Adi Krishna. Naskah Noodle Doodle Box (Kotakku Rumahku), merupakan naskah absurd yang memuat suatu pernyataan sosial yang penting kepada audiencenya tanpa mengingkari kehidupan nyata, karakter tokoh atau kejadian-kejadian.

Naskah ini menggunakan dua tokoh badut yaitu Zacharias, Pepper. Mereka berdua masing-masing memiliki kotak yang dijadikan sebagai rumah dan ruang pribadi mereka. Tetapi mereka menolak untuk berbagi satu sama lain. Kotak-kotak mereka sangatlah unik dan menarik dalam setiap fungsinya yang juga merefleksikan kepribadian masing-masing. Lakon ini dimulai dengan pengujian-pengujian terhadap batas-batas persahabatan Zacharias dan Pepper yang mengakibatkan mereka harus melakukan sesuatu terhadap satu sama lain. Pada bagian selanjutnya tingkah laku mereka sangat mudah diidentifikasi sebagai bentuk penguasa/bukan penguasa, orang tua/anak, guru/murid, dan penindas/yang ditindas.

Lakon ini dilanjutkan dengan hadirya Tokoh Mayor Drum yang hadir dalam situasi pertentangan kedua tokoh. Mayor Drum hadir sebagai wujud represifitas dan provokator untuk menghancurkan ikatan persahabatan tokoh Zacharias dan Pepper. Dengan tipu muslihatnya ternyata Mayor Drum punya maksud lain yaitu ingin mencuri kedua kotak dua badut yag bersagat itu dan dia berhasil melakukannya. Lakon ini diakhiri dengan sebuah kesadaran bahwa ternyata Mayor Drum bukanlah seorang teman sejati. Sehingga mereka berdua menyadari bahwa persahabatan itu penting dan harus dipertahankan, inilah ikatan yang harus mereka jaga secara bersama (Theatre of Youth, Texas, 1986:112).

Latar tempat, peristiwa ini terjadi disebuah areal perkumuhan yang sulit diidentifikasi. Dua orang badut yang hidup dalam rumah kardus. Latar waktu di dalam naskah ini tidak dijelaskan apakah kejadiannya pagi, siang atau malam tapi yang jelas peristiwa mereka diawali dengan bangun dari tidur. Latar suasana dalam naskah ini dimunculkan melalui dialog, perwatakan, konflik walaupun banyak terjadi peristiwa yang berulang-ulang dan cendrung sama, di situlah saya berfikir letak absurditas dari naskah Noodle Doodle Box itu sendiri. Secara plot, naskah ini saya lihat masih memakai pola Aristotelean karena memiliki pemaknaan plot awal, tengah dan akhir walaupun banyak peristiwa pengulangan-pengulangan. Secara mendasar plot yang dipakai terdiri dari eksposisi, konflikasi, klimaks, anti-klimaks, resolusi dan konklusi yang masih bisa diidentifikasi secara jelas. Secara penokohan, ketiga tokoh di dalam naskah ini memang sangat sulit diidentifikasi seperti usia, status sosial, psikologi tokoh protagonis, antagonis dan lain-lain karena masing-masing tokoh tidak memiliki karakter yang flate character (karakter datar yang sama emosinya dari awal sampai akhir) tetapi lebih kepada round character (yaitu karakter yang suatu saat bisa berubah-ubah). Secara tematik naskah dapat disimpulkan bahwa tema dalam naskah ini yaitu tentang persahabatan, sub temanya adalah pentingnya persaudaraan dan persahabatan dalam hidup karena humanisme dan agama mengajarkan tentang hal itu. Dialo dalam nakah ini menggunakan dialog keseharian karena nilai absurditas lebih ditonjolkan pada aktifitas laku tokoh badut yang komikal bukan dialognya. Mood (suasana) dalam teks ini tergantung kepada dramatic action (laku dramatik) yang ditawarkan oleh ketiga tokoh sehingga suasana tragik komedi dapat terlihat dengan jelas. Spektakel dalam pertunjukan ini yang meliputi elemen aktor, artistik, musik, setting, multimedia, rias dan kostum dihadirkan sesuai dengan konteks naskah sehingga unsur spektakel tidak keluar dari koridor penggarapan seperti warna setting warna-warni, rias badut, akting yang komikal, musik yang komikal, unsur cahaya dan unsur multimedia yang disesuaikan dengan kebutuhan cerita. Dari segi gaya bahasa saya mencoba melakukan stilisasi terhadap setiap dialog yang diucapkan oleh aktor dengan memakai pendekatan akting non realis dan gaya pemanggungan, saya sebagai sutradara menghadirkan situasi panggung yang juga non realis (representasi), artinya di sini adalah situasi pemanggungan yang coba ditawarkan memilki situasi absurditas yang real dan kongkrit.

Secara pendekatan penyutradaraan saya memakai pendekatan representatif, artinya saya tidak menghadirkan naskah apa adanya (presentatif), tetapi mencoba untuk melakukan interpretasi dan penafsiran ulang terhadap teks untuk kebutuhan kerja penyutradaraan. Tentunya untuk mensinergikan antara pendekatan penyutradaraan dan pendekatan keaktoran. Saya juga melakukan pendekatan keaktoran yang representasi, artinya sangat sangat dibutuhkan kecerdasan aktor dalam mencari (elaboration), menggali (eksploration) potensi yang ada dalam diri aktor sehingga aktor menemukan format pemeranannya sendiri tanpa ditentukan oleh sutradara.

Tim Produksi

Pimpinan Produksi : Afrizal Harun
Dramaturg : Sahrul N, Adi Krishna
Menejer Panggung : Pandu Birowo
Humas : Citra Novelia, Dedi Darmadi
Publikasi : Adriyandi
Dokumentasi : Nolly Andrianus

Tim Artistik

Pemain : Cut Rosa Sebagai Zacharias, Evi Panoter sebagai Pepper, Vebra Muyu Sari sebagai Mayor Drum
Penata Setting : Hendratno, Idrusmin
Penata Lampu : Zulfikar, Osman, Dede Prama Yoza
Penata Musik : Mauli Andri, Masvil Tommi, Dedi Novaldi, Yudi, Yudhistira
Penata Rias : Della Nasution
Penata Kostum : Shinses Mesta
Sutradara : Afrizal Harun

Pentas di Gedung Hoerijah Adam, pada tanggal 07 Desember 2004

3. ZONA X (nyanyian dari negeri sunyi) karya Afrizal Harun

Konseptual

Realitas merupakan salah satu sumber utama dari setiap gagasan seorang kreator seni dari berbagai banyak gagasan yang terbentang di alam ini. Gagasan tersebut kemudian diaktualisasikan dalam berbagai media penciptaan. Seorang pelukis akan menggores kuasnya di atas kanvas, seorang koreografer akan menterjemahkan peristiwa dalam gerak tari, seorang komposer akan membuat komposisi musik melalui partiturnya, maka seorang sutradara-pun akan mencipta peristiwa melalui aktor yang bertitik tolak pada teks naskah (konvensional) atau teks panggung (non-konvensional).

Zona X (nyanyian dari negeri sunyi) merupakan pengembangan dari karya saya sebelumnya yang berjudul Dunia dalam Mesin Jahit yang pernah dipentaskan dalam event Bulan Bahasa di Pusat Bahasa Rawamangun Jakarta, pada tanggal 07 November 2006. secara mendasar, gagasan Zona X tidak terlepas dari gagasan Dunia dalam mesin jahit yaitu berbicara tentang dehumanisasi yang disebabkan oleh perang secara fisik (kolonialisme, ekspansi meliter) dan non fisik (perang pemikiran, perang ideologi, kapitalisme, imperialisme, dan globalisasi). Perbedaannya hanya dapat dilihat dari sisi visual dan pilihan akting yang dilakukan oleh aktor di atas panggung. Dunia mesin jahit, lebih ditujukan dialog antara Ibu dan anak tentang luka, darah, nanahh dan air mata melalui penjelajahan akting mekanik (oleh tokoh Ibu) dan idiot (oleh tokoh lelaki). Ibu merupakan icon dari ibu bangsa, ibu negeri, ibu pertiwi, dan ibu semua manusia dimuka bumi. Tokoh anak adalah perwakilan generasi yang kehilangan orientasi, pikiran, tanpa makna, sehingga ia adalah perwakilan dari generasi yang idiot dan sakit jiwa. Sementara dalam Zona X (nyanyian dari negeri sunyi) bukanlah dialog antara Ibu dan anak, tetapi kepada dialog kata, tubuh dan pikiran secara global dan universal untuk mengkomunikasikan perang fisik dan non fisik. Secara visual, dunia mesin jahit menghadirkan setting berupa; kain panjang, kursi kayu, dan bola dunia berukuran besar, sangat berbeda dengan garapan sekarang dengan memakai bentuk setting berupa; tikar bambu, tempa besi, dan mesin tenun.

Fokus Konseptual Zona X (nyanyian dari negeri sunyi)

Gagasan karya ini menitik beratkan tentang persoalan dehumanisasi yang diakibatkan oleh perang. Persoalan perang di sini lebih ditegaskan dalam dua pokok yaitu perang secara fisik dan perang secara non-fisik. Perang secara fisik dapat dikatakan sebagai praktek membabi-buta dalam membunuh demi sebuah kepentingan, apakah itu kepentingan personal, kelompok, sosial, maupun kekuasaan sekalipun. Bagi saya, perang bukanlah sebuah solusi untuk mencapai suatu keinginan obsesif yang ambisius, karena bagaimanapun perang hanya berdampak negatif bagi kelangsungan hidup umat manusia dimuka bumi ini. Kenyataan sejarah tidak dapat dipungkiri, bahwa periodesasi kehidupan umat manusia dari zaman komunal primitif sampai saat sekarang adalah sejarah perang. Bagi saya, perang adalah ambisi yang artifisial dan tidak masuk akal. Komunisme di Rusia dengan Partai Bolsevik dalam mencapai Revolusi dengan perang demi sebuah ideologi, Musolini di Italia dan Hitler dengan partai Nazi di Jerman membunuh jutaan masyarakat Yahudi dengan alasan rasialisme, Belanda dan Jepang dengan kolonialismenya perang dengan Indonesia hanya demi rempah-rempah, Amerika melalui otoritasnya sebagai negara adidaya telah memerangi Irak dengan alasan menghancurkan senjata pemusnah massal.

Perang secara non fisik dapat dikategorikan kepada bentuk perang dalam era modern (pasca perang dunia ke II), di mana tidak lagi mengandalkan bentuk kolonialisme untuk menguasai suatu negara. Namun perang (hari ini) adalah perang dalam konteks ideologi, pemikiran, uang sehingga meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat baik secara sosial, ekonomi, politik, hukum dan agama. Karena perang yang satu ini masuk dalam etalase-etalase syaraf secara halus dalam bentuk live style (gaya hidup) yang konsumeristik dan hedonistik. Perang hari ini adalah perang yang membuat kita selalu ketergantungan kepada pihak yang lebih unggul secara sosial, ekonomi, politik dan hukum dalam frame trans national (tidak ada batas negara) dalam topeng yang disebut dengan globalisasi. Globalisasi telah menjadi alat dunia pertama dalam menjajah dunia ketiga secara pemikiran sehingga segala bentuk produk, hutang luar negeri, hegemoni menjadi hal penting untuk masuk dengan mudah untuk melegitimasi kekuasaannya. Itulah perang hari ini.

Lalu, berbagai pertanyaan akan muncul apa itu perang? kenapa perang? Untuk apa perang? Apa dampak dari perang? Pertanyaan ini akan selalu hadir disetiap kurun waktu apabila rasa kemanusiaan kita sebagai makhluk yang berfikir tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara konstruktif, objektif dan ilmiah. Inilah dasar dari gagasan yang kemudian akan saya implementasikan dalam pertunjukan teater melalui media tek tubuh dan teks naratif yang berangkat dari lokal genius kesenian tradisional masyarakat Minangkabau yang disebut dengan silat Luambek.

Luambek merupakan salah salah satu dari berbagi banyak bentuk kesenian yang terdapat di Sumatra Barat. Kesenian ini merupakan wujud dari silat tuo (silat tua) yang lebih mengutamakan bentuk bunga silat sebagai pilihan estetika pertunjukannya dan kemudian disebut dengan tari Luambek. Bentuk kesenian ini terdapat di daerah Sicincin 2x11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman Sumatra Barat. Luambek merupakan pengembangan dari teknik silat yang tidak lagi mengandalkan pada persentuhan secara fisik, tetapi lebih mengutamakan bentuk yang estetis sebagai seni hiburan. Luambek berasal dari kata Lalu (lewat) dan ambek (hambat), artinya aktifitas tarian yang dilakukan adalah berpola perkelahian dua orang tokoh yang lewat dan menghambat serangan lawan secara non fisik (seperti itik bergelut), tentunya hal ini dilakukan memakai teknik kuda-kuda (pitunggua), gerak jari, hentakan kaki, legaran (pola melingkar) dalam melewati dan menghambat serangan lawan. Tari ini biasanya dimainkan berpasangan. Apabila tarian Luambek ini dimainkan dalam jumlah sepuluh atau lima belas orang maka disebut dengan Randai Luambek. Tetapi pola gerak yang dipakai tetap memakai pola tari Luambek

Dalam membantu suasana dalam permainan tari Luambek ini, maka dihadirkan dendang (nyanyian) yang disebut dengan dampeang jantan dan dampeang batino. Dampeang berfungsi untuk memberikan suasana untuk mengatur tempo, ritme, harmonisasi dari gerak Luambek yang dimainkan.

Dalam karya ini, saya sebagai sutradara akan memakai teknik tari Luambek ini sebagai dasar (basic) gerak dalam konsep visual keaktoran. Karena secara visual karya ini mengutamakan eksplorasi gerak tubuh dalam berbagai metode pelatihan yang mengandalkan gymnastik, kelenturan, dan ketahanan (kuda-kuda) dalam silat. Eksplorasi kata-kata lebih diutamakan kepada mengolah teks narasi sebagai bagian dari atmosfir pertunjukan.

Karya ini merupakan karya yang mencoba merefleksikan tematik tentang perang melalui pendekatan kesenian tradisional yang terdapat di Minangkabau yaitu kesenian Luambek. Menurut saya, inovasi berangkat dari parameter orisinalitas gagasan dan bentuk kebaruan (inovatif) dari proses implementasi gagasan tersebut. Alasan saya sebagai sutradara dalam memilih kesenian Luambek sebagai kendaraan gerak pertunjukan eksploratif ini adalah untuk mencoba mengaplikasikan konsep karya yang bercerita tentang dehumanisasi akibat perang dalam konteks non fisik. Pola gerak non fisik dalam Luambek inilah, menurut saya sebagai wujud dari kehalusan globalisasi yang kemudian diimplementasikan dalam karya teater kontemporer.

Inovasi dalam karya ini yaitu, pertama; menggunakan teknik gerak tari Luambek. Saya sebagai sutradara mengambil konvensi gerak tersebut, kemudian diaktualisasikan dalam format pertunjukan teater kontemporer yang berangkat dari local genius yang fokus kepada eksplorasi tubuh dan eksplorasi kata-kata, kedua; karya ini memakai dendang (nyanyian) yang disebut dengan dampeang jantan dan dampeang batino yang selalu mengisi atmosfir pertunjukan dari awal sampai akhir, ketiga;setting visual karya ini memakai alat tenun, tikar bambu, tempa besi, benang-benang, dan air warna merah darah.

Sebagai sutradara, tentunya saya memiliki harapan. Harapan tentunya berdasarkan dari keinginan yang mendalam kenapa harus menggelar karya ini. Harapan saya dalam menggelar karya ini, yaitu :

    1. Apresiator dapat menafsirkan gagasan sutradara yang berangkat dari kritik terhadap perang yang hanya melahirkan dampak negatif bagi kelangsungan hidup manusia.
    2. Apresiator dapat mengenal kesenian Luambek yang di tampilkan dalam format pertunjukan teater kontemporer.

Sebagai sutradara, saya mencoba melakukan tahapan kerja penyutaradaraan secara sistematis, agar karya ini tidak hanya lahir dari naluri, insting saja. Langkah kerja/tahapan kerja penyutadaraan saya yaitu :

  1. Gagasan.
  2. Menonton film-film tentang sejarah perang seperti; film dokumenter Harun Yahya, film Hotel Rwanda (pembantaian ribuan orang suku Hutu oleh suku Tutsi), Down Fall, Sofie School, Innocent Voice, life is beautiful.
  3. Riset tentang kesenian tradisional tari Luambek.
  4. Menentukan para pemain
  5. Menonton dokumentasi pertunjukan tari Luambek.
  6. Latihan tari Luambek berdasarkan teknik-teknik utama gerak tersebut
  1. a. Pasambahan
    b. Antah-antah
    c. Lapiah Batang Padi
    d. dan lain-lain
  1. Latihan Olah Tubuh, Olah Vokal dan Olah Rasa.

h. dan diskusi proses

PERSONIL PENDUKUNG KARYA

Pimpinan Produksi : Mila K. Sari
Stage Menejer : Syafriandi Afridil
Sutradara : Afrizal Harun
Dramaturg : Sahrul N
Pemain : Sarah Ayu Sahira
: Wira Mustika
: Hendratno
: Osman
: Susandro
: Husin

Penata Artistik : Yusri
Kru artistik : Daniel Martin, Deri Saputra
Penata Lampu : Dedi Darmadi
Penata Musik : Indra Jaya
Penata Rias dan kostum : Citra Novelia
Publikasi : Wendi H.S
Dokumentasi : Yudi
Target Pentas yaitu Bulan November dan Desember 2007.


26.4.07

Menjadikan Aktor (Bukan) Segala-galanya



OLEH Nasrul Azwar

“Tugas kita ditunggu, tugas Dogot menunggu. Itu saja. Perut itu kan urusanmu.”

“Apa urusanmu cuma otak, tak pakai perut? Apa Dogot, saudaramu itu tak punya perut tapi punya otak? Begitu? Kau saudaranya ‘kan? Seperti halnya tukang tiup peluit, tukang jual tiket dan tukang gali selokan. Dogot itu saudaramu ‘kan? Kalau bukan mengapa kau tutup-tutupi?...”

Sepenggal teks di atas tampak biasa-biasa saja. Tak ada yang ganjil. Sama halnya dengan teks tulisan ini. Akan tetapi, ia terasa sangat berbeda ketika roh lakon ditiupkan ke dalamnya. Ia berdaging dan bernyawa. Demikianlah teater. Demikianlah peristiwa teater dibangun dari teks yang “mati” menjadi “hidup” di atas panggung. Dan inilah yang membedakan secara signifikans antara teks sastra dangan teks teater.

Pilihan teks sastra berupa cerpen yang diproyeksikan menjadi teks teater yang dilakukan komunitas seni Hitam Putih Padangpanjang dengan sutradara Kurniasih Zaitun, memang memperlihatkan semacam antiesensialisme. “Ditunggu Dogot” semula berupa cerpen karya Sapardi Djoko Damono, yang pada 1 Juli 2006 di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat diaudivisualkan seperti mempertegas ruang relasi antarsutradara, pengarang, pelakon, dan penonton. Pada malam itu berlangsung apa yang disebut diaspora dan brikolase teater. “Ditunggu Dogot” dalam tataran yang positif berhasil penata ulang dan memadukan objek-objek penanda yang sebelumnya—taruhlah tidak saling terkait—untuk menghasilkan makna-makna baru dalam konteks yang baru.

Intertekstualitas dengan pengertian akumulasi dan penciptaan makna lintas teks di mana semua makna saling tergantung pada makna yang lain. Pengutipan secara sadar suatu teks pada teks lain sebagai ekspresi dan kesadaran kutural yang makin besar. Paling tidak, teks sama yang terkoneksi dalam satu kerangka tafsir yang memberi dan membuka luas demokratisasi dalam menjelajah teks. Posisi sutradara dengan segenap pendukungnya telah berhasil mengompilasikan berbagai elemen yang pantas dihadirkan di atas pentas. Maka, dengan demikian, pertunjukan teater “Ditunggu Dogot” tidak menjelma seperti kutbah yang menyebalkan, yang kerap dilakukan oleh banyak kelompok teater di Kota Padang selama ini.

Proses Sungguh-sungguh

Cerpen “Ditunggu Dogot” karya Sapardi Djoko Damono yang diadaptasi menjadi karya teater di atas panggung, memang tidak serta merta melepaskan dirinya demikian saja dengan teks yang telah terbentuk dalam ingatan publik. Paling tidak, referensi pertama muncul dari memori publik adalah “Menunggu Godot” karya Samuel Becket. Relasi teks yang terbangun dengan sendirinya, selanjutnya menemukan “pembenaran” saat persoalan absurdisme kehidupan manusia menjadi perkara penting dalam teks pertunjukan “Ditunggu Dogot”.

Pada batas ini, barangkali apa yang disebut dengan intertekstualitas menemukan legitimasinya. Sapardi Djoko Damono sebagai pengarang “Ditunggu Dogot” dan Kurniasih Zaitun sebagai sutradara menempatkan kode kuktural sebagai pintu masuk demi menjelajah ruang-ruang, konteks, dan narasi kanaifan manusia itu sendiri.

Sudah menjadi catatan tersendiri, bahwa karya Samuel Beckett menginspirasi setidaknya 100 buku dan ribuan karya di muka bumi ini, serta karya-karyanya menjadi bahan studi yang tak habis-habisnya. Bukan hanya “Manunggu Godot”, juga karya lainnya seperti “Endgame” menjadi master drama Becket. Memang, yang terpilih sebagai karya pemenang Nobel Sastra adalah “Menunggu Godot” pada tahun 1969.

Sejauh ini, akhirnya memang untuk mementaskan sebuah lakon, berarti menafsir pula naskah tersebut. Tafsir yang dilakukan Kurniasih Zaitun terhadap “Ditunggu Dogot” pantas diapresiasi positif. Hal demikian terlihat dari gaya dan titik-titik kelekatan berupa investasi emosional yang bersifat kontingen (kesementaraan), dan dituangkan dalam fantasi yang secara parsial menyatukan berbagai wacana dan kekuatan psikis lakon. Pelakon yang disebut “Laki-laki” dan “Perempuan” merupakan identitas kesementaraan manusia yang mencoba mengonstruksi narasi-narasi diri yang kian keropos kepercayaan subjektivitasnya. Dua identitas ini menjadi fokus cerita untuk membangun konflik, dan juga efek visual.

Jika pada naskah “Menunggu Godot” dialog lakon menjadi perdebatan filosofis yang panjang, dan jika tak sabar memang sangat melelahkan, maka pada naskah “Ditunggu Dogot” lebih menekankan pada aktualisasai kondisi kekinian, dan bukan perdebatan filosofis. Maka, konsekuensi garapan dan kehadiran properti di atas panggung menjadi sangat penting.

Cerita “Ditunggu Dogot” diawali seorang lelaki dan perempuan memacu sepedanya untuk menemui Dogot. Karena kedua mereka sedang ditunggu Dogot. Dogot memberi syarat bahwa kepada kedua orang ini untuk tidak boleh terlambat dan juga tak boleh terlalu cepat, harus tepat waktu. Persoalan muncul saat mengayuh sepeda itu: jika terlalu kencang atau lambat menjadi perkara ditujuan. Sesuai perjanjian, mereka harus tepat waktu. Pertengkaran tak bisa dihindarkan, dan juga gugatan menyangkut identitas Dogot yang sedang menunggu. Tapi di dalam pertengkaran itu juga muncul kemesraan dan rasa romantis kedua anak manusia ini. Naluri paling purba bagi manusia lain jenis pun muncul, yaitu seks. Dan apa dan siapa sesungguhnya Dogot yang sedang menunggu mereka, akhirnya memang menjadi identitas jamak dan juga identitas kultural. Tapi manusia sangat mendambakan identitas seperti Dogot.

Tokoh “Perempuan” yang diperankan Ika Trisnawati malam itu memang menghidupkan imaji tentang “perempuan” yang sesungguhnya. Akting yang tidak nyinyir dan terkesan natural mampu mengimbangi “Laki-laki” yang dilakonkan Ashadi. Dari kedua lakon inilah cerita dieksplorasi, didedahkan, lalu dibangun dengan stabilisasi permainan yang tetap berada dalam frame yang tidak terlihat adanya pengulangan-pengulangan seperti banyak dilakukan kelompok-kelompok teater di daerah ini. Sehingga, tontonan jadi menarik, komunikatif, efektif, dan mencengangkan. Estimasi pertunjukan tak lebih 40 menit membuat penonton terpesona di kursinya. Bagi saya, mengatur tempo permainan, menggunakan seefesien mungkin waktu, dan juga kemampuan memungsionalisasikan properti, adalah sesuatu keniscayaan bagi pertunjukan teater. Dan itu telah dilakukan oleh komunitas seni Hitam-Putih Padangpanjang.

Selain itu, satu hal yang membuat pertunjukan “Ditunggu Dogot” agak beda dengan pertunjukan teater lainnya di Sumatra Barat adalah telah muncul kesadaran tentang fungsi dan manfaat teknologi serta kemampuan menyinergikannya dengan kebutuhan pertunjukan. Kahadiran layar di dinding pentas dengan menayangkan gambar-gambar yang terkoneksi dengan aktivitas dan peristiwa yang dibangun kedua aktor itu, jelas mempertegas efek-efek yang dicapai. Juga, menghadirkan panggung yang bergerak, terasa memperlengkap keutuhan pertunjukan itu.

Capaian menuju ke arah demikian itu, bagi saya bukan perkara gampang, dan juga bukan soal yang menyangkut berteater tersebab adanya undangan dari pihak lain, lalu beramai-ramai main teater. Paling tidak, ada kesesungguhan di dalamnya. Ada proses dan pencarian bentuk ungkap panggung yang inovatif. Kerja dan aktivitas teater seperti ini memang tidak pernah diributkan orang. Komunitas seni Hitam-Putih mungkin satu dari sekian banyak komunitas teater yang bergerak dengan partisipasi dan ketegaran dalam mencari dan terus mengasah kamampuan serta sensitivitas pikiran dan perasaan. Mereka berjalan dalam identitas dan militansinya.

Maka, apa yang pernah ditulis Peter Brook, pada batas demikian menjadi sangat benar: Teater harus merefleksikan keterkaitan yang khas dari tanda kehidupan. Perbedaan yang memisahkan antara kebenaran dan realitas bukanlah pada tingkat perbedaannya, namun pada persamaannya yang dapat dibaca melalui kumpulan pemikiran yang berhati-hati.

“Ditunggu Dogot” membuka ruang interpretasi yang luas dan kontekstual, namun secara historis, ia menjadi ahistoris. Keterkaitan dan relevansinya dengan kehidupan sosial diimplementasikan dalam aktualisasi tema, dan content. Dialog dan konflik yang dikedepankan memungkinkan untuk mencapai penyatuan artikulasi dan determinasi logika dalam ranah ruang dan waktu. Namun, karena studi yang kurang mendalam tentang absurdisme, eksistensialisme, dan psikologi Freud, maka pertunjukan “Ditunggu Dogot” kurang berhasil pada tingkat eksplorasi kejiwaan. Tokoh-tokoh bermain masih dalam subjektivitas-ego, kelonggaran karakter terbaca dengan jelas, dan detil-detil karakter masing-masing belum tergarap. Tapi, satu hal yang sangat terjaga adalah tempo permainan yang stabil, dan pencapaian alur cerita yang tepat.

Demikianlah “Ditunggu Dogot”. Ia akan mengemasi dirinya sendiri dengan tawaran-tawaran partisipatif dan imajinatifnya kepada publik, dan sesungguhnya teater bukan sekadar aktor yang menjadi properti yang dilukis sutradara di atas pentas, aktor adalah “pencipta” di atas panggung. ***