26.4.07

Menjadikan Aktor (Bukan) Segala-galanya



OLEH Nasrul Azwar

“Tugas kita ditunggu, tugas Dogot menunggu. Itu saja. Perut itu kan urusanmu.”

“Apa urusanmu cuma otak, tak pakai perut? Apa Dogot, saudaramu itu tak punya perut tapi punya otak? Begitu? Kau saudaranya ‘kan? Seperti halnya tukang tiup peluit, tukang jual tiket dan tukang gali selokan. Dogot itu saudaramu ‘kan? Kalau bukan mengapa kau tutup-tutupi?...”

Sepenggal teks di atas tampak biasa-biasa saja. Tak ada yang ganjil. Sama halnya dengan teks tulisan ini. Akan tetapi, ia terasa sangat berbeda ketika roh lakon ditiupkan ke dalamnya. Ia berdaging dan bernyawa. Demikianlah teater. Demikianlah peristiwa teater dibangun dari teks yang “mati” menjadi “hidup” di atas panggung. Dan inilah yang membedakan secara signifikans antara teks sastra dangan teks teater.

Pilihan teks sastra berupa cerpen yang diproyeksikan menjadi teks teater yang dilakukan komunitas seni Hitam Putih Padangpanjang dengan sutradara Kurniasih Zaitun, memang memperlihatkan semacam antiesensialisme. “Ditunggu Dogot” semula berupa cerpen karya Sapardi Djoko Damono, yang pada 1 Juli 2006 di Teater Tertutup Taman Budaya Sumatra Barat diaudivisualkan seperti mempertegas ruang relasi antarsutradara, pengarang, pelakon, dan penonton. Pada malam itu berlangsung apa yang disebut diaspora dan brikolase teater. “Ditunggu Dogot” dalam tataran yang positif berhasil penata ulang dan memadukan objek-objek penanda yang sebelumnya—taruhlah tidak saling terkait—untuk menghasilkan makna-makna baru dalam konteks yang baru.

Intertekstualitas dengan pengertian akumulasi dan penciptaan makna lintas teks di mana semua makna saling tergantung pada makna yang lain. Pengutipan secara sadar suatu teks pada teks lain sebagai ekspresi dan kesadaran kutural yang makin besar. Paling tidak, teks sama yang terkoneksi dalam satu kerangka tafsir yang memberi dan membuka luas demokratisasi dalam menjelajah teks. Posisi sutradara dengan segenap pendukungnya telah berhasil mengompilasikan berbagai elemen yang pantas dihadirkan di atas pentas. Maka, dengan demikian, pertunjukan teater “Ditunggu Dogot” tidak menjelma seperti kutbah yang menyebalkan, yang kerap dilakukan oleh banyak kelompok teater di Kota Padang selama ini.

Proses Sungguh-sungguh

Cerpen “Ditunggu Dogot” karya Sapardi Djoko Damono yang diadaptasi menjadi karya teater di atas panggung, memang tidak serta merta melepaskan dirinya demikian saja dengan teks yang telah terbentuk dalam ingatan publik. Paling tidak, referensi pertama muncul dari memori publik adalah “Menunggu Godot” karya Samuel Becket. Relasi teks yang terbangun dengan sendirinya, selanjutnya menemukan “pembenaran” saat persoalan absurdisme kehidupan manusia menjadi perkara penting dalam teks pertunjukan “Ditunggu Dogot”.

Pada batas ini, barangkali apa yang disebut dengan intertekstualitas menemukan legitimasinya. Sapardi Djoko Damono sebagai pengarang “Ditunggu Dogot” dan Kurniasih Zaitun sebagai sutradara menempatkan kode kuktural sebagai pintu masuk demi menjelajah ruang-ruang, konteks, dan narasi kanaifan manusia itu sendiri.

Sudah menjadi catatan tersendiri, bahwa karya Samuel Beckett menginspirasi setidaknya 100 buku dan ribuan karya di muka bumi ini, serta karya-karyanya menjadi bahan studi yang tak habis-habisnya. Bukan hanya “Manunggu Godot”, juga karya lainnya seperti “Endgame” menjadi master drama Becket. Memang, yang terpilih sebagai karya pemenang Nobel Sastra adalah “Menunggu Godot” pada tahun 1969.

Sejauh ini, akhirnya memang untuk mementaskan sebuah lakon, berarti menafsir pula naskah tersebut. Tafsir yang dilakukan Kurniasih Zaitun terhadap “Ditunggu Dogot” pantas diapresiasi positif. Hal demikian terlihat dari gaya dan titik-titik kelekatan berupa investasi emosional yang bersifat kontingen (kesementaraan), dan dituangkan dalam fantasi yang secara parsial menyatukan berbagai wacana dan kekuatan psikis lakon. Pelakon yang disebut “Laki-laki” dan “Perempuan” merupakan identitas kesementaraan manusia yang mencoba mengonstruksi narasi-narasi diri yang kian keropos kepercayaan subjektivitasnya. Dua identitas ini menjadi fokus cerita untuk membangun konflik, dan juga efek visual.

Jika pada naskah “Menunggu Godot” dialog lakon menjadi perdebatan filosofis yang panjang, dan jika tak sabar memang sangat melelahkan, maka pada naskah “Ditunggu Dogot” lebih menekankan pada aktualisasai kondisi kekinian, dan bukan perdebatan filosofis. Maka, konsekuensi garapan dan kehadiran properti di atas panggung menjadi sangat penting.

Cerita “Ditunggu Dogot” diawali seorang lelaki dan perempuan memacu sepedanya untuk menemui Dogot. Karena kedua mereka sedang ditunggu Dogot. Dogot memberi syarat bahwa kepada kedua orang ini untuk tidak boleh terlambat dan juga tak boleh terlalu cepat, harus tepat waktu. Persoalan muncul saat mengayuh sepeda itu: jika terlalu kencang atau lambat menjadi perkara ditujuan. Sesuai perjanjian, mereka harus tepat waktu. Pertengkaran tak bisa dihindarkan, dan juga gugatan menyangkut identitas Dogot yang sedang menunggu. Tapi di dalam pertengkaran itu juga muncul kemesraan dan rasa romantis kedua anak manusia ini. Naluri paling purba bagi manusia lain jenis pun muncul, yaitu seks. Dan apa dan siapa sesungguhnya Dogot yang sedang menunggu mereka, akhirnya memang menjadi identitas jamak dan juga identitas kultural. Tapi manusia sangat mendambakan identitas seperti Dogot.

Tokoh “Perempuan” yang diperankan Ika Trisnawati malam itu memang menghidupkan imaji tentang “perempuan” yang sesungguhnya. Akting yang tidak nyinyir dan terkesan natural mampu mengimbangi “Laki-laki” yang dilakonkan Ashadi. Dari kedua lakon inilah cerita dieksplorasi, didedahkan, lalu dibangun dengan stabilisasi permainan yang tetap berada dalam frame yang tidak terlihat adanya pengulangan-pengulangan seperti banyak dilakukan kelompok-kelompok teater di daerah ini. Sehingga, tontonan jadi menarik, komunikatif, efektif, dan mencengangkan. Estimasi pertunjukan tak lebih 40 menit membuat penonton terpesona di kursinya. Bagi saya, mengatur tempo permainan, menggunakan seefesien mungkin waktu, dan juga kemampuan memungsionalisasikan properti, adalah sesuatu keniscayaan bagi pertunjukan teater. Dan itu telah dilakukan oleh komunitas seni Hitam-Putih Padangpanjang.

Selain itu, satu hal yang membuat pertunjukan “Ditunggu Dogot” agak beda dengan pertunjukan teater lainnya di Sumatra Barat adalah telah muncul kesadaran tentang fungsi dan manfaat teknologi serta kemampuan menyinergikannya dengan kebutuhan pertunjukan. Kahadiran layar di dinding pentas dengan menayangkan gambar-gambar yang terkoneksi dengan aktivitas dan peristiwa yang dibangun kedua aktor itu, jelas mempertegas efek-efek yang dicapai. Juga, menghadirkan panggung yang bergerak, terasa memperlengkap keutuhan pertunjukan itu.

Capaian menuju ke arah demikian itu, bagi saya bukan perkara gampang, dan juga bukan soal yang menyangkut berteater tersebab adanya undangan dari pihak lain, lalu beramai-ramai main teater. Paling tidak, ada kesesungguhan di dalamnya. Ada proses dan pencarian bentuk ungkap panggung yang inovatif. Kerja dan aktivitas teater seperti ini memang tidak pernah diributkan orang. Komunitas seni Hitam-Putih mungkin satu dari sekian banyak komunitas teater yang bergerak dengan partisipasi dan ketegaran dalam mencari dan terus mengasah kamampuan serta sensitivitas pikiran dan perasaan. Mereka berjalan dalam identitas dan militansinya.

Maka, apa yang pernah ditulis Peter Brook, pada batas demikian menjadi sangat benar: Teater harus merefleksikan keterkaitan yang khas dari tanda kehidupan. Perbedaan yang memisahkan antara kebenaran dan realitas bukanlah pada tingkat perbedaannya, namun pada persamaannya yang dapat dibaca melalui kumpulan pemikiran yang berhati-hati.

“Ditunggu Dogot” membuka ruang interpretasi yang luas dan kontekstual, namun secara historis, ia menjadi ahistoris. Keterkaitan dan relevansinya dengan kehidupan sosial diimplementasikan dalam aktualisasi tema, dan content. Dialog dan konflik yang dikedepankan memungkinkan untuk mencapai penyatuan artikulasi dan determinasi logika dalam ranah ruang dan waktu. Namun, karena studi yang kurang mendalam tentang absurdisme, eksistensialisme, dan psikologi Freud, maka pertunjukan “Ditunggu Dogot” kurang berhasil pada tingkat eksplorasi kejiwaan. Tokoh-tokoh bermain masih dalam subjektivitas-ego, kelonggaran karakter terbaca dengan jelas, dan detil-detil karakter masing-masing belum tergarap. Tapi, satu hal yang sangat terjaga adalah tempo permainan yang stabil, dan pencapaian alur cerita yang tepat.

Demikianlah “Ditunggu Dogot”. Ia akan mengemasi dirinya sendiri dengan tawaran-tawaran partisipatif dan imajinatifnya kepada publik, dan sesungguhnya teater bukan sekadar aktor yang menjadi properti yang dilukis sutradara di atas pentas, aktor adalah “pencipta” di atas panggung. ***

Pementasan "Tangga"


Komunitas Seni Hitam Putih

PEMENTASAN TEATER Komunitas Seni Hitam-Putih Padangpanjang akan mementaskan teater berjudul "Tangga" sutradara Yursil. Pementasan akan dilakukan pada:

* 21 Juni 2007 di STSI Padangpanjang
* 23 Juni 2007 di Taman Budaya Provinsi Sumatra Barat


Pertunjukan Teater Komunitas Hitam-Putih Padangpanjang

Pementasan "Menunggu Dogot"

Karya: Sapardi Djoko Damono

Sutradara: Kurniasih Zaitun (TINTUN)
Tanggal 26 April 2007 Pukul 19.30 WIB
Di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah Surakarta - Solo

Konsep Garapan Ditunggu Dogot adalah sebuah cerpen Sapardi Djoko Damono. "Teks" cerpen ini kemudian ditafsirkan dan diwujudkan dalam bentuk pertunjukan teater. Cerpen ini mengisahkan perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Dapat dilihat disini bahwa Sapardi sangat terinspirasi oleh Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Sapardi mencoba melihat bagaimana persoalan "menunggu" tidak akan lengkap jika tidak ada "ditunggu", dan Sapardi percaya bahwa hidup ini berpasang-pasangan. Hal ini terlihat pada dialog-dialog yang muncul dalam cerpen tersebut, termasuk cara Sapardi dalam melukiskan persoalan dan konflik yang membangun inti cerpen tersebut.

Konsep panggung yang ditawarkan adalah stage on stage (panggung di atas panggung) yang menghadirkan panggung bergerak (berputar) untuk mnenawarkan konsep un-blocking (perpindahan aktor lebih ditentukan oleh pergerakan panggung). Sedangkan posisi penonton diarahkan ke dalam bentuk prosenium dan tapal kuda/arena, dengan tujuan lebih memudahkan penonton untuk mengapresiasi pentas itu sendiri. Untuk memperkuat karakter pertunjukan dan artistik panggung, pementasan ini juga menggunakan multimedia yang dilahirkan melalui layar yang menjadi latar belakang panggung.

Konsep pertunjukan Ditunggu Dogot, berangkat dari ide dasar randai, dengan menjadikan unsur galombang dan pelaku galombang sebagai penentu, yakni penentu pergantian waktu, tempat dan adegan. Fungsi pelaku galombang dalam pertunjukan ini sangat ditentukan oleh perputaran panggung; pada saat perputaran dilakukan, pelaku galombang menjadi aktor pertunjukan, dan ketika tidak terjadi lagi perputaran, sang pelaku galombang memfungsikan diri sebagai bagian dari penonton.

Sinopsis

Perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Semua yang ada dimuka bumi ini diciptakan berpasang-pasangan. Jauh dekat, tinggi rendah, langit bumi, laki-laki perempuan, menunggu ditunggu. Perjalanan hidup manusia yang tak pernah bisa ditebak "apa", tapi dapat dirasakan, dijalani dan dinikmati.

Profil Kelompok

Komunitas seni HITAM-PUTIH di Sumatra Barat awalnya adalah kelompok teater yang tumbuh di lingkungan pelajar SMU. Didirikan pada tahun 1992 dengan nama Teater Plus sebagai salah satu kegiatan ekstra kurikuler di SMU Plus INS Kayu tanam Sumatera Barat. Kemudian di tahun 1998, atas beberapa pertimbangan, kelompok ini berubah nama menjadi komunitas seni HITAM-PUTIH dan hingga saat ini tetap eksis sebagai salah satu kantong seni di Sumatera Barat. Berbagai aktivitas seni pertunjukan khususnya teater telah dipentaskan, baik di tingkat regional Sumatera hingga merambah beberapa tempat di Jakarta. Sejak awal kehadirannya, komunitas ini cukup memberikan warna baru pada perkembangan seni pertunjukan di Sumatera Barat. Hal ini tampak dari beberapa pentas keliling di wilayah Sumatera dan Jakarta yang digelar pada kurun waktu 1998-2000, di samping juga melakukan beberapa kali workshop teater di Sumatera Barat.

Selain membidangi seni Teater, komunitas seni HITAM-PUTIH, juga mengembangkan bidang kesenian lainnya dengan menjadi penyelenggara beberapa pentas Tari, Workshop Sastra, dan Pagelaran Musik Etnik. Sedangkan dalam bidang perfilman, komunitas ini menyelenggarakan kegiatan diskusi, pemutaran dan produksi film, di samping melakukan eksplorasi, riset dan eksperimen untuk mencari bentuk-bentuk alternatif seni pertunjukan khususnya seni teater dengan memberikan kesempatan kepada penonton untuk memberikan penilaian lewat diskusi pasca pentas.

Profil Sutradara

Kurniasih Zaitun lebih akrab dengan panggilan TINTUN kelahiran, Padang 20 April 1980. Salah satu dari sekian banyak perempuan yang aktif dalam kesenian Teater. Telah meluluskan pendidikan S-1 nya di STSI Padangpanjang Jurusan Teater dengan Minat Utama Penyutradaraan.

PENGALAMAN KESENIAN

TEATER

Menjadi Sutradara:

* Pertunjukan "Ditunggu Dogot" Karya Sapardi Djoko Damono di Padangpanjang, Pasar Seni Pekan Baru-Riau dan Taman Budaya Prop. Sumatra Barat-Padang (2005-2006)
* Pertunjukan "Kura-Kura Bekicot"Karya Ionesco di Padangpanjang (2004)
* Puisi Pertunjukan dengan tema "Seks, Teks dan Konteks"di Univ Padjajaran Bandung (2004)
* Pertunjukan "Cleopatra" karya Shakespeare di Padangpanjang (2003)
* Pertunjukan "Cermin" karya Nano Riantiarno di Festival Pesisir- Taman Budaya Padang (2002)
* Pertunjukan "Pintu Tertutup" karya Jean P Sartre di Padangpanjang (2002)
* Pertunjukan "Topeng" karya Yusril di Univ Bung Hatta Padang, Taman Budaya Bengkulu, GOR Payakumbuh Sum-Bar (2000-2001)
* Pertunjukan "Komplikasi" karya Yusril di Pertemuan Teater Eksperimental Internasional Fak Sastra Univ Andalas Padang (2000)
* Pertunjukan "Malam Terakhir" karya Yukio Mishima di Padangpanjang (2000)
* Pe0rtunjukan "The Song Of The Death" karya Kurniasih Zaitun di Padangpanjang (2000)
* Dramatisasi Puisi "Menjelang Hari Pemilu" karya Gunawan Muhammad di Padangpanjang (2000)
* Pertunjukan "Orang-Orang Kasar" karya Anton P.Chekov di Padang Panjang (1999)

Menjadi Aktor:

* Pembaca Cerpen "Surat untuk Guru(ku)" di Univ Andalas Padang" (2006)
* Pertunjukan "Pintu"karya/ Sutradara Yusril di Taman Budaya Padang (2002)
* Pertunjukan "Menunggu" karya/Sutradara Yusril di TAMAN Budaya Padang, Event Pertemuan Sastrawan Nusantara Tiga Negara Tetangga di INS Kayu Tanam Sumatra Barat, Taman Budaya Jambi, Balai Dang Merdu Riau, Pertemuan Teater Indonesia di Taman Budaya Pekan Baru Riau, STSI Padangpanjang, Teater Utan Kayu Jakarta dan Teater Luwes IKJ Jakarta (1997-2000)
* Pertunjukan "Menanti Kasih di Ujung Tanduk" karya/ Sutradara Yusril di Fak Sastra Univ.Andalas Padang, SMKI Padang, STSI Padangpanjang (199)
* Dramatisasi "Sembilu Darah" karya/Sutradara Yusril di Fak Sastra Univ Bung Hatta Padang (1997)

Menjadi Penulis:

* Naskah Perempuan di Ruang Kerja
* "tak ada yang sempurna di dunia, hanya DIA yang memiliki kesempurnaan itu. Maka nikmati apa yang telah dianugrahkan, apapun……."(2005)
* Naskah The Song Of The Death"
* "aku hanya mampu melihat, mendengar, dan menyaksikan…. .(2000)
* Artikel "Jual Obat sebagai Teater alternativ" di Harian Mimbar Minang Padang (2000)
* Artikel "Grotowsky dan Konsep Teater Melarat" di Booletin Teater Jur Teater STSI Padangpanjang (2000)
* Puisi di Majalah Horison Jakarta (1996)

Non Teater:

* Aktor Utama Film Indipendent "Sedikit Sekali Waktu Untuk Cinta" Sutradara Yusril Produksi Studio Hitam-Putih (2003)
* Narator Film-film Dokumenter Produksi Studio Hitam Putih (2001- sekarang)
* Pembaca Puisi, pada Event lokal dan nasional (1997- sekarang) Salam budaya,

Evi Widya Putri Promotions and Media Relations Komunitas Seni Hitam Putih Sekretariat Jakarta Jl। H. Samali no. 11 Pejaten Barat - Pasar Minggu Jakarta Selatan.