26.5.07

Pertunjukan AFRIZAL HARUN

Latar Belakang Kreativitas

Mengenal teater bermula di INS Kayutanam pada tahun 1995 dengan kelompok Teater Plus INS Kayutanam yang didirikan pada tahun 1993, yaitu sebagai pemain dalam naskah Aggun Nan Tongga karya Wisran Hadi, sutradara Yusril. ketika itu, teater merupakan bagian program studi minat kerohanian disamping minat-minat yang lain seperti olah raga, musik, desain grafis, ketaqwaan, seni rupa, dan tari. Pada awalnya, Afrizal Harun yang memiliki nama populer yaitu Babab adalah siswa yang mengambil program studi desain grafis, karena program studi desain grafis juga merupakan program studi yang cukup populer sehingga siswa-siswa INS satu angkatan dengan Afrizal mayoritas mengambil minat desain dan sebagian lagi mengambil minat studi tentang teater, seni rupa, olah raga dan ketaqwaan. Pada pertengahan tahun 1997, Afrizal terlibat sebagai penata artistik dalam pentas Menunggu karya/sutradara Yusril dalam event pertemuan teater se-Indonesia di Taman Budaya Pekan Baru, dalam event inilah muncul ketertarikan dalam dirinya untuk menyentuh dan ingin memelajari teater itu secara keilmuan maupun secara praktikal. Pada tahun 1997, Afrizal mengambil minat program studi teater dan mundur dari minat program studi desai grafis. Ketika proses untuk persiapan pentas Menunggu dalam event Pertemuan Sasterawan Nusantara ke-IX di INS Kayutanam yang dihadiri oleh tokoh-tokoh sasterawan, budayawan, dan kreator seni seperti Radhar Panca Dahana, Ratna Sarumpaet, Rendra, Yoserizal Manua, Sasterawan Malaysia, sasterawan Singapore, sasterawan Filipina dan lain-lain. Pentas ini merupakan entry poin bagi Yusril (sutradara) dalam strategi agar teater plus sebagai teater sekolahan dapat dilihat kontribusinya secara lokal, nasional maupun internasional. Pada event inilah, Afrizal ditawari Yusril sebagai pemain dalam pentas tersebut.

Pada tahun 1998, setelah tamat dari INS Kayutanam. Afrizal Harun melanjutkan studi teaternya di STSI Padangpanjang dengan mengambil Jurusan Teater. Walaupun dalam situasi Jurusan teater yang tergolong masih muda, berdiri pada tahun 1997 tentunya mengalami kendala-kendala dalam hal kurikulum, fasilitas, dan staf pengajar profesional yang belum sempurna (perfect) sehingga banyak mata kuliah-mata kuliah yang tumpang tindih ketika itu. Tapi, karena alasan ingin mendalami disiplin teater itu secara keilmuan maupun secara praktikal, Afrizal sering terlibat dalam proses teater secara akademis maupun non akademis di STSI Padangpanjang. Seperti terlibat dalam pertunjukan Plasenta karya/sutradara Yusril dalam event BKSPTN di STSI Padangpanjang pada tahun 1999. pada tahun 2000, pentas Menunggu karya/sutradara ayusril di TUK (teater utan kayu) Jakarta. Dan pada tahun ini juga, Afrizal mengawali menjadi sutradara secara akademis dalam naskah Pernikahan Perak karya John Bown. Geliat teater yang tidak hanya sekedar hobi, tetapi lebih kepada arah yang profesional, Afrizal terus mendalami teater baik sebagai sutradara, pemain maupun penata artistik. Sebagai sutradara karya-karyanya yaitu Pernikahan perak (2000), Euforia Malin (2002), Wek-Wek (2002), Macbett (2003), Hanya Satu Kali (2004), Noodle Dodle Box (2004), Dunia Mesin Jahit (2006), Api Revolusi PDRI (2007) dan sekarang sedang persiapan proses karya teater dengan judul ZONA X (sebuah nyanyian dari negeri sunyi). Sebagai aktor, Afrizal juga cukup aktif dalam berbagai pementasan di Padangpanjang, Padang, Jambi dan Jakarta seperti dalam pentas Menunggu (1997-2000), Plasenta (1999), Nyanyian Angsa (2000), Antigone (2000), Pintu (2002), Pinangan (2003), Domba-domba revolusi (2003), Insan-Insan Malang (2004), Anggun Nan Tongga (2005), Hamlet Machine (2005), Dimana Tanda Silang Tertera (2007), Kawin Paksa (2007), Hanya Satu Kali (2007). Sebagai penata Artistik seperti dalam karya Tanda Silang (2004), Karya Tari Cindua Mato (2004), karya tari Tungku Tigo Sajarangan (2005), Penata Cahaya dalam karya tari Batu (2005), Pengantin Ombak (2005), Apologia Socrates (2005) dan lain-lain.

Afrizal menyelesaikan studi di Jurusan Teater di STSI Padangpanjang, satu hari pasca kejadian tsunami di Aceh yaitu pada tanggal 27 Desember 2004. inilah hari yang cukup bersejarah bagi seorang Afrizal yang tetap konsisten dalam memilih dunia teater sebagai kerja profesi pada waktu selanjutnya. Untuk menghidupi teater sebagai karya seni, tentunya ada penunjang lain yang menyangkut persoalan finansial agar proses teater tetap berjalan sebagaimana mestinya, karena bagaimanapun perhatian pemerintah daerah, funding lokal, maupun nasional belum menjadikan kesenian yang satu ini menjadi hal yang prioritas. Sehingga setiap pertunjukan, para kelompok seni (teater) tidak ubahnya sebagai seorang pengemis dengan modal proposal untuk mendapatkan uang untuk biaya proses dan pementasan. Untuk menjadikan teater sebagai kerja profesi, maka Afrizal membangun strategi dengan mendaftar sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di STSI Padangpanjang sebagai staf pengajar di Jurusan Teater STSI Padangpanjang pada bulan Februari 2006. Pada bulan April 2006, Afrizal diterima sebagai staf pengajar di Jurusan Teater STSI Padangpanjang sampai sekarang.

Sebagai kendaraan kreatifitasnya, Afrizal terlibat aktif dalam komunitas independen yaitu komunitas seni HITAM PUTIH Sumatera Barat semenjak 1998 pimpinan Yusril. komunitas ini bergerak dibidang pengembangan seni dan budaya seperti Teater, Tari, Musik, Seni rupa dan Film. Kehadiran komunitas ini jelas telah memberikan kontribusi yang sangat berarti untuk pengembangan seni dan budaya di Sumatera Barat maupun secara nasional sehingga aktifitas komunitas ini sudah tercatat dalam directory teater Indonesia. HITAM-PUTIH memiliki filosofi yaitu berjelas-jelas artinya disini adalah bahwa komunitas merupakan ruang demokratisasi dalam hal manajemen yang transparan, terbuka, dan berusaha menjadi sebuah wadah yang populer maupun populis dikalangan pencinta seni secara lokal maupun nasional. Pada tahun 2007 ada tiga program pentas teater komunitas seni HITAM-PUTIH yaitu di tunggu Dogot, karya Sapardi Djoko Damono/sutradara Kurniasih Zaitun pentas di Taman Budaya Solo dan TIM Jakarta, Tangga, karya/sutradara Yusril (Hibah Yayasan Kelola) Pentas di STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatera Barat dan Zona X (Nyanyian dari negeri sunyi) karya/sutradara Afrizal Harun pentas di Taman Budaya Sumatera Barat, Jambi, TIM Jakarta dan Surabaya. Juga pentas Tari Ali Sukri di Solo, Pemutaran Film In-Doc dan lain-lain.

Beberapa Konsep Pertunjukan

1. Hanya Satu Kali Karya Jhon Galsworthy dan Robert Midlemand

Sinopsis

Sudarso (bukanlah nama sebenarnya) merupakan seorang narapidana yang akan di eksekusi mati karena kasus pembunuhan berencana. Ia termasuk salah seorang narapidana yang membuat kepala penjara dan ulama panik, karena sikapnya sangat baik selama enam bulan ia di penjara itu. Ia tidak pantas di eksekusi sebagai seorang manusia, tapi karena alasan hukum dan undang-undang, eksekusi harus dilaksanakan. Ia tetap tegar dan konsisten dengan alasan sebuah keyakinan ideologi. Ia tidak ingin semua orang tahu tentang sejarah hidupnya terutama kepada keluarganya karena ia tidak ingin menimbulkan beban penderitaan kepada adik dan ibu yang sudah puluhan tahun ditinggalkannya. Ia ingin mati sebagai pahlawan dengan tenang dan damai.

Penulis naskah ini adalah seorang pengarang dari Inggeris bernama Jhon Galsworthy. Ia dilahirkan di Coombe Surrey pada tanggal 14 Agustus 1867. Jhon Galsworthy merupakan seorang tokoh yang ahli dalam hal puisi, novelis, dan juga merupakan tokoh penting dalam bidang drama. Ia memperoleh pendidikan di Harrow, kemudian di New College, Oxford. Tahun 1929, ia mendapat penghargaan Order of Meri dan pada tahun 1932, ia menerima hadiah nobel dalam bidang literatur. Pada tanggal 31 Januari 1933, Jhon Galsworthy meninggal dunia di London akibat penyakit animea kronis yang di deritanya. Karya-karya Jhon Galsworthy dalam bidang drama seperti The Skin Game ( 1920), Loyalitas (1922), dan Escape (1926).

Hanya Satu kali adalah naskah yang saya garap pertama kali pada tahun 2004 sebagai proses dalam memahami realisme secara keilmuan dan praktek. Naskah ini dimainkan oleh Jamaluddin Syarief yang berperan sebagai kepala penjara, Akhbarudin berperan sebagai ulama, Ariswandi berperan sebagai Sudarso, Fauziah Azizah berperan sebagai tokoh Gadis dan Dedi Darmadi berperan sebagai Opas. Dalam penggarapan kali ini, saya mencoba menghadirkan pemain yang berbeda namun masih ada dua tokoh yang bermain dengan peran yang sam. Yusril berperan sebagai Sudarso, Sahrul N berperan sebagai kepala penjara, Afrizal Harun berperan sebagai tokoh Ulama, Fauziah Azizah berperan sebagai tokoh Gadis dan Dedi Darmadi tetap berperan sebagai Opas.

Hanya satu kali adalah sebuah judul yang ditujukan untuk sebuah kematian, dan itu di alami oleh semua makhluk hidup dimuka bumi ini, apakah itu manusia, binatang ataupun tumbuh-tumbuhan. Karena bicara kematian merupakan sesuatu yang tidak bisa terjadi dua, tiga, empat, atau digantikan karena bagaimanapun persoalan kematian adalah titik akhir dari siklus kehidupan yang dimulai dari proses lahir, proses tumbuh, proses berkembang, proses layu (tua) dan kemudian mati. Konteks kematian di sini lebih ditujukan kepada manusia. Hanya satu kali merupakan idiom, bahwa kehidupan manusia akan berakhir tanpa ada proses negoisasi, maupun tawar menawar kalau memang ia akan ditakdirkan untuk mati.

Dalam naskah Hanya satu kali karya Jhon Galsworthy dan Robert Midlemand adalah konteks cerita (lakon) tentang kematian manusia dengan cara di eksekusi yang di alami oleh seorang tokoh yang memilki nama samaran yaitu Sudarso. Eksekusi mati (apakah dipenggal, digantung, dibius, atau disetrum) adalah sebuah solusi bagi hukum dan undang-undang untuk membunuh seseorang tanpa memikirkan sisi kemanusian individu itu sendiri, karena bagaimanapun hukum dan undang-undang menjadi alat untuk melegitimasi kebenaran tanpa mempertimbangkan akar persoalan kenapa ia harus di eksekusi mati. Ideologi tidak lagi berarti apa-apa apabila hukum dan undang-undang berbicara, orang yang benar bisa menjadi salah dan orang orang salah bisa menjadi benar tergantung di mana kekuasaan itu meletakkan akar kebenaran itu. Inilah yang dialami oleh tokoh Sudarso. Ia menyadari bahwa perbuatannya sangat beresiko terhadap kematiannya, tapi demi sebuah ideologi yang diyakini, ia men erima keputusan sebagai terdakwa yang akan dihukum mati. Karena ia merasa, telah menjadi tokoh yang heroik dalam membunuh seseorang untuk menyelamatkan ratusan bahkan jutaan orang (walaupun di dalam naskah tidak dijelaskan siapa tokoh berpengaruh yang telah dibunuhnya).

Di sisi lain, dapat kita lihat bahwa tokoh Sudarso merupakan seorang yang memiliki paradigma berfikir yang konsisten, tegas, dan logis. Tetapi, dia telah menjadi korban hukum dan undang-undang sehingga keyakinan dan tekad dapat saja diluluh lantakkan dan ia dikalahkan oleh sistem hukum dan undang-undang yang tidak memiliki keberpihakan terhadap apa yang telah diperbuatnya, itulah ironisnya.

Ada beberapa cara pandang dalam mendekati persoalan yang dialami oleh tokoh Sudarso yaitu secara sosial, psikologi dan agama. Secara sosial, tokoh Sudarso meyakini sebuah ideologi dalam hal menolak sebuah sistem yang bertolak belakang dalam cara pandang berfikir dan filsafatnya. Ia, sangat menghargai masyarakat dalam konteks kemanusiaan. Dan apabila masyarakat telah menjadi objek penindasan maka ia harus melakukan sesuatu demi ideologi yang ia yakini walaupun tindakan tersebut sangat bertentangan dengan hukum dan undang-undang yaitu membunuh seorang manusia yang dianggap berpengaruh dalam melakukan penindasan terhadap masyarakat dengan sadar dan terencana. Itulah kebenaran sosial yang diyakininya. Walaupun resiko yang akan diterimanya adalah eksekusi mati. Secara psikologi, dia termasuk tokoh yang tidak mencoba menganalisis dampak dari tindakannya, dia sangat reaktif dengan alasan membela kebenaran sehingga tokoh Sudarso termasuk tokoh yang lebih mendahulukan perasaan daripada rasionalitas sehingga ia membunuh manusia tanpa mempertimbangkan sisi kemanusiaan orang yang dibunuhnya itu. Tapi itulah tekad, dia harus melakukannya. Secara Agama, persoalan membunuh adalah sesuatu tindakan yang dilarang karena hal itu berkaitan dengan persoalan dosa dan pahala. Maka dalam lakon ini, apa yang dilakukan oleh Sudarso dan apa yang dilakukan oleh Hukum dan undang-undang merupakan hal yang ditentang oleh agama, yaitu sama-sama membunuh orang walaupun caranya berbeda karena bagaimanapun eksekusi mati merupakan tindakan pembunuhan. Itulah yang menjadi persoalan dalam mencari jawaban kenapa kita harus membunuh. Itulah yang menjadi dasar ketertarikan saya sebagai sutradara terhadap naskah lakon ini dengan berbagai alasan yang sudah dipaparkan di atas.

Mengingat naskah ini merupakan naskah realis, maka Secara struktur, Hanya Satu Kali memiliki struktur lakon Aristotelean yang terdiri dari alur yang dimulai dari eksposisi, konflikasi, klimaks, anti-klimaks, resolusi dan konklusi. Secara penokohan, naskah Hanya Satu Kali memiliki enam tokoh yaitu Kepala penjara (tokoh antagonis), Ulama (tokoh foil), Sudarso (tokoh protagonis), Gadis (tokoh detragonis) dan Opas (tokoh utility). Peristiwa lakon terjadi di dalam ruangan kepala penjara, pada pukul 23.00 menjelang eksekusi dilaksanakan, di sebuah perkotaan pada tahun 90-an.

Tahapan Kerja

  1. Visi (impian, harapan, cita-cita dan tujuan penggarapan)
  2. Menentukan naskah
  3. Analisis teks
  4. Casting
  5. Metode penciptaan/penyutradaraan
  6. dan desain

Karena naskah Hanya Satu Kali ini merupakan naskah realis yang berbentuk tragedi, tentunya saya memiliki beberapa metode penciptaan pertunjukan yaitu, metode penyutradaraan yang presentatif (menghadirkan naskah apa adanya ke atas panggung tanpa adanya proses rekonstruksi maupun dekonstruksi) namun untuk kebutuhan penyutradaraan kali ini, saya sebagai sutradara menjadikan nama tokoh sudarso menjadi Irmansyah (nama Tono Rono Sisworo diganti dengan Khairil Jasmi Anwar) dan nama Sulastri Rono Sisworo diganti dengan Sulastri Jasmi Anwar. Alasan saya untuk merubah nama ini adalah untuk menghadirkan situasi laku yang universal, tidak mewakili kultur daerah tertentu.

Metode pemeranan bagi tiap aktor yang presentatif juga yaitu melalui pendekatan sistem pelatihan yang dikembangkan oleh Constatin Stanilavsky yaitu ineer act (suatu bentuk akting yang lahir dari dalam diri seorang aktor dan tidak dibuat-buat) dan to be (merupakan sebuah teknik untuk menjadi tokoh yang diidealkan dalam naskah lakon menyangkut hal fisik, psikologi dan sosiologi tokoh yang sesuai dengan keinginan lakon). Secara bentuk setting, saya sebagai sutradara menghadirkan setting realis yang meliputi ruang kepala penjara (dinding depan imajiner) yang terdiri dari (meja kepala penjara, kursi tamu, bendera, foto presiden dan wakil presiden), ruang tunggu, gerbang menuju penjara (arah ke belakang). Handprop aktor terdiri dari borgol, amplop berisi uang, tas, tasbih dan lain-lain. Kostum untuk aktor dalam pertunjukan ini disesuaikan dengan konteks naskah yaitu kostum kepala penjara, kostum ulama, kostum narapidana untuk tokoh Sudarso, kostum opas dan kostum keseharian untuk tokoh Gadis. Rias yang dipergunakan dalam pertunjukan ini adalah rias panggung yang disesuaikan dengan karakter dan situasi masing-masing tokoh. Karena secara struktur peristiwa ini terjadi pada malam hari menjelang eksekusi dilaksanakan, maka format pencahayaan (lighting) dalam pertunjukan ini menggunakan karakter warna yang suram seperti warna netral redup, kuning, merah dan biru untuk mencocokkan dengan suasana pertunjukan. Dalam pertunjukan ini, saya sebagai sutradara menghadirkan musik live (langsung) yang terdiri dari Cello, Biola, Gitar, Harmonika untuk menghadirkan ilustrasi-ilustrasi lewat musik agar suasana tragik yang diinginkan dapat dicapai dengan baik. Tentunya untuk mencapai hal di atas untuk lebih sempurna maka diperlukan pembentukan tim manejerial, tim produksi, dan round down kegiatan penyutradaraan seperti : proses reading, pembagian tokoh, blocking, latihan dengan musik, latihan dengan kostum, GR dan pertunjukan.

Tim Produksi

Pimpinan Produksi : Wira Mustika
Dramaturg : Dede Prama Yoza
Manejer Panggung : Hasan
Humas : Husin
Publikasi : Adriyandi
Dokumentasi Visual : Defri
Dokumentasi Foto : Yose

Tim Artistik

Pemain : Yusril Sebagai Irmansyah, Sahrul N Sebagai Kepala Penjara, Afrizal Harun Sebagai Ulama, Fauziah Azizah sebagai Sulastri,Dedi Darmadi sebagai Opas
Penata Setting : Syafriandi Afridil
Penata Lampu : Djoefry HBR
Penata Musik : Dharminta Soeryana
Penata Rias : Citra Novelia
Penata Kostum : Rini
Sutradara : Afrizal Harun

Pentas di Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 20 Juli 2007.

2. Kotakku Rumahku (Doodle Box) Karya Paul Maar

Naskah ini di tulis pada tahun 1972 oleh Paul Maar seorang berkebangsaan Jerman. Ia pada tanggal 13 Desember 1937 di Schweinfurt. Pada ahun 1979, naskah asli Paul Maar dierjemahkan oleh Anita dan Alex Page ke dalam bahasa Inggeris dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Adi Krishna. Naskah Noodle Doodle Box (Kotakku Rumahku), merupakan naskah absurd yang memuat suatu pernyataan sosial yang penting kepada audiencenya tanpa mengingkari kehidupan nyata, karakter tokoh atau kejadian-kejadian.

Naskah ini menggunakan dua tokoh badut yaitu Zacharias, Pepper. Mereka berdua masing-masing memiliki kotak yang dijadikan sebagai rumah dan ruang pribadi mereka. Tetapi mereka menolak untuk berbagi satu sama lain. Kotak-kotak mereka sangatlah unik dan menarik dalam setiap fungsinya yang juga merefleksikan kepribadian masing-masing. Lakon ini dimulai dengan pengujian-pengujian terhadap batas-batas persahabatan Zacharias dan Pepper yang mengakibatkan mereka harus melakukan sesuatu terhadap satu sama lain. Pada bagian selanjutnya tingkah laku mereka sangat mudah diidentifikasi sebagai bentuk penguasa/bukan penguasa, orang tua/anak, guru/murid, dan penindas/yang ditindas.

Lakon ini dilanjutkan dengan hadirya Tokoh Mayor Drum yang hadir dalam situasi pertentangan kedua tokoh. Mayor Drum hadir sebagai wujud represifitas dan provokator untuk menghancurkan ikatan persahabatan tokoh Zacharias dan Pepper. Dengan tipu muslihatnya ternyata Mayor Drum punya maksud lain yaitu ingin mencuri kedua kotak dua badut yag bersagat itu dan dia berhasil melakukannya. Lakon ini diakhiri dengan sebuah kesadaran bahwa ternyata Mayor Drum bukanlah seorang teman sejati. Sehingga mereka berdua menyadari bahwa persahabatan itu penting dan harus dipertahankan, inilah ikatan yang harus mereka jaga secara bersama (Theatre of Youth, Texas, 1986:112).

Latar tempat, peristiwa ini terjadi disebuah areal perkumuhan yang sulit diidentifikasi. Dua orang badut yang hidup dalam rumah kardus. Latar waktu di dalam naskah ini tidak dijelaskan apakah kejadiannya pagi, siang atau malam tapi yang jelas peristiwa mereka diawali dengan bangun dari tidur. Latar suasana dalam naskah ini dimunculkan melalui dialog, perwatakan, konflik walaupun banyak terjadi peristiwa yang berulang-ulang dan cendrung sama, di situlah saya berfikir letak absurditas dari naskah Noodle Doodle Box itu sendiri. Secara plot, naskah ini saya lihat masih memakai pola Aristotelean karena memiliki pemaknaan plot awal, tengah dan akhir walaupun banyak peristiwa pengulangan-pengulangan. Secara mendasar plot yang dipakai terdiri dari eksposisi, konflikasi, klimaks, anti-klimaks, resolusi dan konklusi yang masih bisa diidentifikasi secara jelas. Secara penokohan, ketiga tokoh di dalam naskah ini memang sangat sulit diidentifikasi seperti usia, status sosial, psikologi tokoh protagonis, antagonis dan lain-lain karena masing-masing tokoh tidak memiliki karakter yang flate character (karakter datar yang sama emosinya dari awal sampai akhir) tetapi lebih kepada round character (yaitu karakter yang suatu saat bisa berubah-ubah). Secara tematik naskah dapat disimpulkan bahwa tema dalam naskah ini yaitu tentang persahabatan, sub temanya adalah pentingnya persaudaraan dan persahabatan dalam hidup karena humanisme dan agama mengajarkan tentang hal itu. Dialo dalam nakah ini menggunakan dialog keseharian karena nilai absurditas lebih ditonjolkan pada aktifitas laku tokoh badut yang komikal bukan dialognya. Mood (suasana) dalam teks ini tergantung kepada dramatic action (laku dramatik) yang ditawarkan oleh ketiga tokoh sehingga suasana tragik komedi dapat terlihat dengan jelas. Spektakel dalam pertunjukan ini yang meliputi elemen aktor, artistik, musik, setting, multimedia, rias dan kostum dihadirkan sesuai dengan konteks naskah sehingga unsur spektakel tidak keluar dari koridor penggarapan seperti warna setting warna-warni, rias badut, akting yang komikal, musik yang komikal, unsur cahaya dan unsur multimedia yang disesuaikan dengan kebutuhan cerita. Dari segi gaya bahasa saya mencoba melakukan stilisasi terhadap setiap dialog yang diucapkan oleh aktor dengan memakai pendekatan akting non realis dan gaya pemanggungan, saya sebagai sutradara menghadirkan situasi panggung yang juga non realis (representasi), artinya di sini adalah situasi pemanggungan yang coba ditawarkan memilki situasi absurditas yang real dan kongkrit.

Secara pendekatan penyutradaraan saya memakai pendekatan representatif, artinya saya tidak menghadirkan naskah apa adanya (presentatif), tetapi mencoba untuk melakukan interpretasi dan penafsiran ulang terhadap teks untuk kebutuhan kerja penyutradaraan. Tentunya untuk mensinergikan antara pendekatan penyutradaraan dan pendekatan keaktoran. Saya juga melakukan pendekatan keaktoran yang representasi, artinya sangat sangat dibutuhkan kecerdasan aktor dalam mencari (elaboration), menggali (eksploration) potensi yang ada dalam diri aktor sehingga aktor menemukan format pemeranannya sendiri tanpa ditentukan oleh sutradara.

Tim Produksi

Pimpinan Produksi : Afrizal Harun
Dramaturg : Sahrul N, Adi Krishna
Menejer Panggung : Pandu Birowo
Humas : Citra Novelia, Dedi Darmadi
Publikasi : Adriyandi
Dokumentasi : Nolly Andrianus

Tim Artistik

Pemain : Cut Rosa Sebagai Zacharias, Evi Panoter sebagai Pepper, Vebra Muyu Sari sebagai Mayor Drum
Penata Setting : Hendratno, Idrusmin
Penata Lampu : Zulfikar, Osman, Dede Prama Yoza
Penata Musik : Mauli Andri, Masvil Tommi, Dedi Novaldi, Yudi, Yudhistira
Penata Rias : Della Nasution
Penata Kostum : Shinses Mesta
Sutradara : Afrizal Harun

Pentas di Gedung Hoerijah Adam, pada tanggal 07 Desember 2004

3. ZONA X (nyanyian dari negeri sunyi) karya Afrizal Harun

Konseptual

Realitas merupakan salah satu sumber utama dari setiap gagasan seorang kreator seni dari berbagai banyak gagasan yang terbentang di alam ini. Gagasan tersebut kemudian diaktualisasikan dalam berbagai media penciptaan. Seorang pelukis akan menggores kuasnya di atas kanvas, seorang koreografer akan menterjemahkan peristiwa dalam gerak tari, seorang komposer akan membuat komposisi musik melalui partiturnya, maka seorang sutradara-pun akan mencipta peristiwa melalui aktor yang bertitik tolak pada teks naskah (konvensional) atau teks panggung (non-konvensional).

Zona X (nyanyian dari negeri sunyi) merupakan pengembangan dari karya saya sebelumnya yang berjudul Dunia dalam Mesin Jahit yang pernah dipentaskan dalam event Bulan Bahasa di Pusat Bahasa Rawamangun Jakarta, pada tanggal 07 November 2006. secara mendasar, gagasan Zona X tidak terlepas dari gagasan Dunia dalam mesin jahit yaitu berbicara tentang dehumanisasi yang disebabkan oleh perang secara fisik (kolonialisme, ekspansi meliter) dan non fisik (perang pemikiran, perang ideologi, kapitalisme, imperialisme, dan globalisasi). Perbedaannya hanya dapat dilihat dari sisi visual dan pilihan akting yang dilakukan oleh aktor di atas panggung. Dunia mesin jahit, lebih ditujukan dialog antara Ibu dan anak tentang luka, darah, nanahh dan air mata melalui penjelajahan akting mekanik (oleh tokoh Ibu) dan idiot (oleh tokoh lelaki). Ibu merupakan icon dari ibu bangsa, ibu negeri, ibu pertiwi, dan ibu semua manusia dimuka bumi. Tokoh anak adalah perwakilan generasi yang kehilangan orientasi, pikiran, tanpa makna, sehingga ia adalah perwakilan dari generasi yang idiot dan sakit jiwa. Sementara dalam Zona X (nyanyian dari negeri sunyi) bukanlah dialog antara Ibu dan anak, tetapi kepada dialog kata, tubuh dan pikiran secara global dan universal untuk mengkomunikasikan perang fisik dan non fisik. Secara visual, dunia mesin jahit menghadirkan setting berupa; kain panjang, kursi kayu, dan bola dunia berukuran besar, sangat berbeda dengan garapan sekarang dengan memakai bentuk setting berupa; tikar bambu, tempa besi, dan mesin tenun.

Fokus Konseptual Zona X (nyanyian dari negeri sunyi)

Gagasan karya ini menitik beratkan tentang persoalan dehumanisasi yang diakibatkan oleh perang. Persoalan perang di sini lebih ditegaskan dalam dua pokok yaitu perang secara fisik dan perang secara non-fisik. Perang secara fisik dapat dikatakan sebagai praktek membabi-buta dalam membunuh demi sebuah kepentingan, apakah itu kepentingan personal, kelompok, sosial, maupun kekuasaan sekalipun. Bagi saya, perang bukanlah sebuah solusi untuk mencapai suatu keinginan obsesif yang ambisius, karena bagaimanapun perang hanya berdampak negatif bagi kelangsungan hidup umat manusia dimuka bumi ini. Kenyataan sejarah tidak dapat dipungkiri, bahwa periodesasi kehidupan umat manusia dari zaman komunal primitif sampai saat sekarang adalah sejarah perang. Bagi saya, perang adalah ambisi yang artifisial dan tidak masuk akal. Komunisme di Rusia dengan Partai Bolsevik dalam mencapai Revolusi dengan perang demi sebuah ideologi, Musolini di Italia dan Hitler dengan partai Nazi di Jerman membunuh jutaan masyarakat Yahudi dengan alasan rasialisme, Belanda dan Jepang dengan kolonialismenya perang dengan Indonesia hanya demi rempah-rempah, Amerika melalui otoritasnya sebagai negara adidaya telah memerangi Irak dengan alasan menghancurkan senjata pemusnah massal.

Perang secara non fisik dapat dikategorikan kepada bentuk perang dalam era modern (pasca perang dunia ke II), di mana tidak lagi mengandalkan bentuk kolonialisme untuk menguasai suatu negara. Namun perang (hari ini) adalah perang dalam konteks ideologi, pemikiran, uang sehingga meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat baik secara sosial, ekonomi, politik, hukum dan agama. Karena perang yang satu ini masuk dalam etalase-etalase syaraf secara halus dalam bentuk live style (gaya hidup) yang konsumeristik dan hedonistik. Perang hari ini adalah perang yang membuat kita selalu ketergantungan kepada pihak yang lebih unggul secara sosial, ekonomi, politik dan hukum dalam frame trans national (tidak ada batas negara) dalam topeng yang disebut dengan globalisasi. Globalisasi telah menjadi alat dunia pertama dalam menjajah dunia ketiga secara pemikiran sehingga segala bentuk produk, hutang luar negeri, hegemoni menjadi hal penting untuk masuk dengan mudah untuk melegitimasi kekuasaannya. Itulah perang hari ini.

Lalu, berbagai pertanyaan akan muncul apa itu perang? kenapa perang? Untuk apa perang? Apa dampak dari perang? Pertanyaan ini akan selalu hadir disetiap kurun waktu apabila rasa kemanusiaan kita sebagai makhluk yang berfikir tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara konstruktif, objektif dan ilmiah. Inilah dasar dari gagasan yang kemudian akan saya implementasikan dalam pertunjukan teater melalui media tek tubuh dan teks naratif yang berangkat dari lokal genius kesenian tradisional masyarakat Minangkabau yang disebut dengan silat Luambek.

Luambek merupakan salah salah satu dari berbagi banyak bentuk kesenian yang terdapat di Sumatra Barat. Kesenian ini merupakan wujud dari silat tuo (silat tua) yang lebih mengutamakan bentuk bunga silat sebagai pilihan estetika pertunjukannya dan kemudian disebut dengan tari Luambek. Bentuk kesenian ini terdapat di daerah Sicincin 2x11 Enam Lingkung Kabupaten Padang Pariaman Sumatra Barat. Luambek merupakan pengembangan dari teknik silat yang tidak lagi mengandalkan pada persentuhan secara fisik, tetapi lebih mengutamakan bentuk yang estetis sebagai seni hiburan. Luambek berasal dari kata Lalu (lewat) dan ambek (hambat), artinya aktifitas tarian yang dilakukan adalah berpola perkelahian dua orang tokoh yang lewat dan menghambat serangan lawan secara non fisik (seperti itik bergelut), tentunya hal ini dilakukan memakai teknik kuda-kuda (pitunggua), gerak jari, hentakan kaki, legaran (pola melingkar) dalam melewati dan menghambat serangan lawan. Tari ini biasanya dimainkan berpasangan. Apabila tarian Luambek ini dimainkan dalam jumlah sepuluh atau lima belas orang maka disebut dengan Randai Luambek. Tetapi pola gerak yang dipakai tetap memakai pola tari Luambek

Dalam membantu suasana dalam permainan tari Luambek ini, maka dihadirkan dendang (nyanyian) yang disebut dengan dampeang jantan dan dampeang batino. Dampeang berfungsi untuk memberikan suasana untuk mengatur tempo, ritme, harmonisasi dari gerak Luambek yang dimainkan.

Dalam karya ini, saya sebagai sutradara akan memakai teknik tari Luambek ini sebagai dasar (basic) gerak dalam konsep visual keaktoran. Karena secara visual karya ini mengutamakan eksplorasi gerak tubuh dalam berbagai metode pelatihan yang mengandalkan gymnastik, kelenturan, dan ketahanan (kuda-kuda) dalam silat. Eksplorasi kata-kata lebih diutamakan kepada mengolah teks narasi sebagai bagian dari atmosfir pertunjukan.

Karya ini merupakan karya yang mencoba merefleksikan tematik tentang perang melalui pendekatan kesenian tradisional yang terdapat di Minangkabau yaitu kesenian Luambek. Menurut saya, inovasi berangkat dari parameter orisinalitas gagasan dan bentuk kebaruan (inovatif) dari proses implementasi gagasan tersebut. Alasan saya sebagai sutradara dalam memilih kesenian Luambek sebagai kendaraan gerak pertunjukan eksploratif ini adalah untuk mencoba mengaplikasikan konsep karya yang bercerita tentang dehumanisasi akibat perang dalam konteks non fisik. Pola gerak non fisik dalam Luambek inilah, menurut saya sebagai wujud dari kehalusan globalisasi yang kemudian diimplementasikan dalam karya teater kontemporer.

Inovasi dalam karya ini yaitu, pertama; menggunakan teknik gerak tari Luambek. Saya sebagai sutradara mengambil konvensi gerak tersebut, kemudian diaktualisasikan dalam format pertunjukan teater kontemporer yang berangkat dari local genius yang fokus kepada eksplorasi tubuh dan eksplorasi kata-kata, kedua; karya ini memakai dendang (nyanyian) yang disebut dengan dampeang jantan dan dampeang batino yang selalu mengisi atmosfir pertunjukan dari awal sampai akhir, ketiga;setting visual karya ini memakai alat tenun, tikar bambu, tempa besi, benang-benang, dan air warna merah darah.

Sebagai sutradara, tentunya saya memiliki harapan. Harapan tentunya berdasarkan dari keinginan yang mendalam kenapa harus menggelar karya ini. Harapan saya dalam menggelar karya ini, yaitu :

    1. Apresiator dapat menafsirkan gagasan sutradara yang berangkat dari kritik terhadap perang yang hanya melahirkan dampak negatif bagi kelangsungan hidup manusia.
    2. Apresiator dapat mengenal kesenian Luambek yang di tampilkan dalam format pertunjukan teater kontemporer.

Sebagai sutradara, saya mencoba melakukan tahapan kerja penyutaradaraan secara sistematis, agar karya ini tidak hanya lahir dari naluri, insting saja. Langkah kerja/tahapan kerja penyutadaraan saya yaitu :

  1. Gagasan.
  2. Menonton film-film tentang sejarah perang seperti; film dokumenter Harun Yahya, film Hotel Rwanda (pembantaian ribuan orang suku Hutu oleh suku Tutsi), Down Fall, Sofie School, Innocent Voice, life is beautiful.
  3. Riset tentang kesenian tradisional tari Luambek.
  4. Menentukan para pemain
  5. Menonton dokumentasi pertunjukan tari Luambek.
  6. Latihan tari Luambek berdasarkan teknik-teknik utama gerak tersebut
  1. a. Pasambahan
    b. Antah-antah
    c. Lapiah Batang Padi
    d. dan lain-lain
  1. Latihan Olah Tubuh, Olah Vokal dan Olah Rasa.

h. dan diskusi proses

PERSONIL PENDUKUNG KARYA

Pimpinan Produksi : Mila K. Sari
Stage Menejer : Syafriandi Afridil
Sutradara : Afrizal Harun
Dramaturg : Sahrul N
Pemain : Sarah Ayu Sahira
: Wira Mustika
: Hendratno
: Osman
: Susandro
: Husin

Penata Artistik : Yusri
Kru artistik : Daniel Martin, Deri Saputra
Penata Lampu : Dedi Darmadi
Penata Musik : Indra Jaya
Penata Rias dan kostum : Citra Novelia
Publikasi : Wendi H.S
Dokumentasi : Yudi
Target Pentas yaitu Bulan November dan Desember 2007.