Oleh Sahrul N
Kesan pertama yang menonjol setelah menonton teater Delire A Deux (Kura-Kura dan Bekicot) karya Ionesco, saduran Darnoto, sutradara Kurniasih Zaitun, di gedung pertunjukan Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 15 April 2005 adalah suara-suara perang (bom, rentetan bunyi senapan, dan bentakan orang-orang di belakang panggung). Suara tersebut seakan memecah kebekuan kalimat absurd yang dilontarkan tokoh Lelaki (Jamal) dan tokoh Perempuan (Ayu) yang masing-masing memiliki kebenaran dan kesalahan sendiri-sendiri. Tidak ada yang salah di antara keduanya dan tidak ada yang benar di antara keduanya, dan juga tidak ada penyelesaian. Semua masalah berseliweran satu sama lain menjadi ikon-ikon persoalan tanpa kesimpulan. Kesimpulan merupakan hak sepenuhnya dari penonton yang menyaksikan. Hal ini merupakan ciri dari teater absurd Ionesco, Samuel Becket, Albert Camus, Sartre, dan lain-lain. Tidak ada yang digurui dan tidak ada yang menggurui. Penonton merupakan penikmat aktif dari peristiwa-peristiwa yang hadir di atas panggung.
Peristiwa dimulai dengan bunyi bom dan rentetan senapan mesin yang keluar dari keyboard yang diolah Darminta lewat sound syestem yang berkekuatan tinggi. Dua tokoh (Lelaki dan Perempuan) yang berprilaku kura-kura dan bekicot mulai menggeliatkan badannya merespon bunyi tersebut. Keduanya seperti tertekan oleh kondisi perang yang hadir dalam ruang-ruang ketakutan. Saat bunyi peperangan menghilang keduanya selalu bertengkar tentang kebenaran masing-masing. Hanya suara bom dan rentetetan senapan mesin yang menyatukan mereka dalam ketakutan. Lalu bertengkar lagi, menyatu lagi dalam ketakutan, bertengkar lagi, begitu seterusnya tanpa ada yang terselesaikan.
Pertunjukan yang berdurasi sekitar 70 menit ini mencoba memberdayakan ikon-ikon dari properti yang digunakan. Baskon dan tutup nasi dimultifungsikan semaksimal mungkin membentuk makna-makna tertentu. Ketika makna satu muncul dari properti yang digunakan kemudian dihancurkan oleh makna-makna lain. Penghancuran ikon ini merupakan gejala dekonstruktif yang menjadi ciri dari pertunjukan ini. Untuk bisa menuju pada penghancuran ikon, kedua tokoh harus memaksimalkan pola akting dengan konsep atraktif dari Mayerhold. Ini bisa dilihat dari brosur yang diberikan kepada penonton bahwa seorang aktor harus bisa melakukan kegiatan di atas pentas yang berbeda dengan kegitatan sehari-hari. Teatrikalisme merupakan kehidupan distilisasi (digayakan) dan bahkan dirusak (didistorsi) untuk tujuan-tujuan teater.
Keinginan dari naskah Ionesco adalah persoalan ketegangan pikiran yang mengacu pada absurdisme. Lakon absurd diistilahkan oleh Esslin (dikutip dari Bakdi Soemanto) sebagai pure theatre yang ciri-ciri aktingnya seperti yang terdapat dalam pertunjukan sirkus, akrobat, dan sebagainya. Gerakan pemain dalam pertunjukan absurd tidak mempunyai makna, walaupun mempunyai fungsi tertentu. Gerakan mereka berbeda dengan gerakan penari yang merupakan simbol-simbol. Dengan kata lain, gerakan itu tidak mempunyai acuan di luar gerakan itu sendiri. Akan tetapi dalam pertunjukan ini ada sedikit penyimpangan dalam mengolah gerak para tokoh dari gerak yang diinginkan absurdisme. Gerak terlalu tertata (rapi) bahkan hampir menyerupai gerak tari kontemporer, terutama gerak dari tokoh Perempuan.
Ionesco seperti yang dikutip oleh Styan pernah mengatakan bahwa dalam lakon absurd, tokoh-tokohnya tampil sebagai characters without character. Tokoh tanpa watak yang sebenarnya suatu wujud transformasi dari peristiwa sehari-hari yang tidak banyak disadari orang. Banyak kalimat-kalimat konyol yang dilontarkan oleh kedua tokoh yang menurut pemikiran logis tidak akan pernah diucapkan oleh manusia seperti apa adanya. Kalimat-kalimat tersebut hanya diucapkan oleh manusia sakit (gila) atau manusia yang tidak menyadari bahwa dirinya manusia (hilang kesadaran).
Absurdisme Delire A Deux karya Ionesco berkaitan erat dengan pandangan filsafat eksistensialisme yang mengajarkan bahwa yang paling nyata dan konkret hanyalah eksistensi yang bersifat individual atau hanya yang pernah dialami yang bisa disebut kenyataan. Kedua tokoh (Lelaki dan Perempuan) berada dalam suatu ruang (space) dimana lokasi fisik atau raga berada disuatu tempat diantara lokasi perang dua kelompok yang bertikai. Mereka tidak bisa keluar dari kenyataan tersebut. Gambaran peperangan kedua kelompok yang bertikai seperti gambaran kedua tokoh yang selalu bertengkar. Anehnya adalah ketika suara bom dan rentetan senapan yang menandakan peperangan kedua kelompok saat itu pula kedua tokoh menyatu. Sedangkan saat bunyi peperangan hilang saat itu pula pertengkaran kedua tokoh semakin menjadi. Di sini terlihat bahwa tidak akan pernah hidup itu damai. Perang bisa membuat meraka menyatu dalam ketakutan, akan tetapi pada saat kedamaian muncul, muncul pertengkaran keluarga. Lalu kapan ada kedamaian? Menurut pemikiran absurd kedamaian tidak akan pernah terjadi.
Ketidakberdayaan kedua tokoh merupakan ciri lakon absurd. Banyaknya percobaan nuklir, perang terus menerus, pembunuhan massal akibat perang dunia yang disaksikan oleh Ionesco yang lahir tahun 1912 menjadi inspirasi kreatif. Manusia berhadapan dengan tindakan-tindakan mengerikan tanpa bisa keluar dari kenyataan tersebut. Permenungan Ionesco tentang kehadiran manusia merupakan reaksi dari kondisi manusia itu sendiri yang nyata, tidak hanya lewat spekulasi pikiran.
Alur bagi lakon Delire A Deux tidak begitu penting, yang penting adalah masalah atau peristiwa-peristiwa yang diulang-ulang. Pengulangan tanpa makna seperti yang ditulis Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus juga merupakan ciri lakon absurd. Hal ini sangat berbeda dengan lakon-lakon lain seperti realisme dan sebagainya.***
Sahrul N., S.S., M.Si., adalah dosen Jurusan Teater STSI Padangpanjang