4.7.07

Sudarmoko, tentang proses hitamputih

Tentang Proses Produksi Komunitas Hitam Putih
Eksplorasi “Jenjang” dan Tawaran Artistik Pentas
Oleh Sudarmoko

Eksplorasi properti sebagai alat perekat sebuah pertunjukan teater masih menjadi mainstream yang digunakan dalam beberapa karya teater di tanah air. Setidaknya, titik berangkat pertunjukan terobsesi dari bagaimana properti dapat dieksplorasi dan dijadikan tumpuan utama pertunjukan. Demikian juga dengan proses produksi teater Komunitas Hitam Putih, bertajuk Jenjang, yang menitikberatkan pada elaborasi dan eksplorasi properti dalam garapannya. Produksi ini menjadi bagian dari program Hibah Kelola 2007 dan rencananya akan dipentaskan di STSI Padangpanjang 21 Juli 2007 dan di Taman Budaya Sumatra Barat di Padang pada 27 Juli 2007.
Fenomena ini barangkali dapat dilihat bagaimana jenjang, misalnya, dapat mereferensikan sesuatu ketika dimainkan atau diolah oleh pemain. Bagaimana bentuk konfigurasi yang dapat dimainkan oleh variasi yang dapat dimungkinkan. Ketika berpikir tentang jenjang, beberapa referensi muncul: jalan menuju kekuasaan, tahapan-tahapan dalam sebuah proses, jungkat-jungkit yang menimbang sesuatu, rel yang hitam lurus dan panjang, dan seterusnya. Referensi ini mungkin masih pada permukaan. Kita masih dapat menambahkannya lagi dari berbagai hubungan referensial yang lain. Misalnya dalam pepatah Minangkabau, berjenjang naik bertangga turun, yang merangkum pandangan filosofis dan politis tentang sistem pemerintahan yang merupakan kompromi dari kelompok Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Pepatah ini mengindikasikan sistem yang bersifat bottom up dan top down untuk digunakan sekaligus.
Tarik menarik antara dua kekuatan aliran ini berlangsung terus, dengan ciri khas yang masih dianut oleh masing-masing kelompoknya. Namun, bertangga naik berjenjang turun juga menjadi alternatif bagi kelompok yang memiliki kecenderungan untuk mengompromikannya. Pandangan ini juga yang menjadi perhatian utama dari naskah pertunjukan Jenjang yang disutradarai oleh Yusril ini. Dualisme dan tarik menarik seperti ini akan dapat digunakan sebagai perekat pertunjukan dan menjalin konflik dalam keseluruan pementasan. Dengan demikian, suspense yang yang diharapkan hadir dalam pementasan dapat dijaga keberlangsungannya. Saya tidak tahu pasti apakah Yusril sadar dan memanfaatkan peluang ini atau tidak.
Saya berkesempatan untuk menyaksikan proses latihan ini beberapa waktu yang lalu. Tarik menarik antara dua kutub ini masih belum disinggung dalam latihan. Namun demikian, Yusril tampaknya akan mengarah ke soal ini. Setidaknya, hal ini tampak dari elaborasi yang dilakukan oleh Yusril dan kawan-kawan. Ada peluang untuk memasuki ranah filosofis dan politis ini melalui pembagian ruang dan penggunaan properti dalam masing-masing babakan. Apalagi bila hal ini didukung oleh pemanfaatan properti yang akan menjadi daya tarik dari pertunjukan ini. Pembagian ruang yang telah ditemukan selama proses latihannya sesungguhnya menarik untuk dicermati. Yusril membagi stage dengan memanfaatkan propertinya. Setidaknya ada tiga level: di atas pentas, di atas jenjang, dan di dinding belakang pentas. Ketiga level ini dapat memberikan masukan penting dalam penggunaan pentas yang biasa terjadi dalam pentas teater. Tentu saja bila Yusril dapat menghadirkan capaiannya ini dengan baik.
Bagi pemain, saya melihat ada peluang lain yang belum maksimal dilakukan. Bisa jadi, bermain dengan properti dapat menjadi pedang bermata dua. Bila pemain tidak akrab dengan properti, maka properti hanya akan menjadi beban dan menghambat laju permainan. Properti akan memenuhi pentas tanpa memiliki nilai artistik bila tidak dimanfaatkan oleh pemain. Namun bila hal ini dapat diatasi, bisa jadi pemain dapat menggunakan properti menjadi medium yang mendukung permainan. Pada tingkat tertentu, bermain dengan properti keras seperti ini membutuhkan presisi dan hubungan yang intim antara pemain dan properti.
Pemain belum sepenuhnya memiliki gambaran dan pengalaman emosional dengan properti Jenjang. Ini sebenarnya dapat diatasi dengan lebih mendalam memikirkan dan menghadirkan pengalaman mereka dengan jenjang. Tindakan emosional ini akan membantu pemain dalam memperlakukan jenjang yang dibawa, dinaiki, atau diperebutkan. Jika pemain tidak memiliki pengalaman ini, bisa jadi akan tampak kekakuan dan kehilangan akal dan berhadapan dengan properti mereka sendiri.
Menurut informasi, Yusril menggunakan latihan bantu Capuera untuk latihannya ini. Dan waktu yang digunakan untuk berlatih dengan properti ini mungkin akan menjadi masa yang menguntungkan dalam proses latihannya. Apalagi, Yusril dalam sebagian besar produksi teaternya, selalu menggunakan properti sebagai mediumnya. Sesuatu yang menarik secara visual dan pendalaman ceritanya.
Naskah Jenjang ini berasal dari puisi yang ditulis oleh Iyut Fitra. Dengan menggunakan puisi, tentu saja dialog atau narasi yang ada memiliki kedalaman sastrawi dan patut untuk digunakan secara cermat. Masing-masing kata dipilih dan ditempatkan dengan isian dan makna yang ambigu. Di sinilah mungkin satu peluang lagi dapat dipikirkan oleh Komunitas Hitam Putih dalam menghadirkan peristiwa yang diangkat dalam pertunjukannya ini.
Persoalan jenjang, mungkin bukan sekadar tangga atau pijakan. Dari sini akan muncul pemaknaan baru yang mungkin saja akan sangat menarik untuk ditonton.


Sudarmoko, peminat seni, tinggal di Padang.

No comments: