4.7.07

Zelfeni Wimra tentang "Tangga" Hitam Putih 2007

Dari Perjalanan Kreatif Tangga:

Kalau Saja Ada Tangga ke Langit

Oleh Zelfeni Wimra

Kalau saja ada tangga ke langit, tentu banyak orang yang suatu waktu ingin menaikinya. Tinggalkan sejenak kehidupan dunia yang hiruk dan semakin sesak oleh ketakberaturan nilai-moral. Manusia semakin terdesak oleh kecepatan perubahan dan sangat berhasrat untuk melupakan pikiran-pikiran yang sering melompat melampaui realitas.

Tapi bukankah, kita (manusia itu) beserta hewan yang melata lainnya, telah lama terdampar sejak Adam dan Hawa diusir lantaran tidak sabar menunggu kapan saatnya menaiki tangga untuk memanjat batang Quldi dan memetik buahnya. Keterburu-buruan ternyata telah mengantar mereka -hingga ke kita- pada pilihan yang sering tidak sesuai dengan naluriah kemanusiaan itu sendiri.

Makanya, setelah berkurun-kurun melata di muka bumi, ketidakpuasan manusia terhadap realitas serta tuntutan pemenuhan kebutuhan yang penuh perebutan membuat mereka merasa lemah. Sehingga, perlu ada tambatan jiwa, tempat berlindung, dan mohon pertolongan. Tetapi tempat bernaung dan minta pertolongan itu selalu menjadi rahasia. kadang terasa tinggi sehingga diperlukan alat untuk mencapainya. Jika ketingiannya bisa dihitung jengkalan, seorang seseorag tentu tidak perlu terlalu panik memikirkan. Alternatif alat mencapai ketingian tersebut bisa saja dengan bantuan alat-alat lain.

Materi; benda kasat mata yang lazim untuk mencapai ketingian adalah tangga. Hal serupa terjadi jugakah pada proses pencapain imateri? Ketika ketingian “sesuatu” yang hendak di capai itu menyamai langit, tangga seperti apa gerangan yang bisa mengantar seorang manusia itu tadi?

Asumsi sementara dapat dinarasikan bahwa semakin banyak ketinggian, semakin beragam pula tangga yang digunakan untuk mencapainya. Serta tak terhitung bagaimana cara membuat dan menggunakan tangga.selama manusia suka ketinggian, selama itu pula tangga diperlukan. Dari sini bisa disimpul sebuah opini, bahwa aktivitas pencarian yang tinggi, tempat menemukan perlindungan tersebut akan terus berjalan sepanjang kehidupan itu sendiri.

Mengidentifikasi Ketinggian

Banyak orang menyugesti dirinya dengan sebuah istilah bijak: gantungkan cita-citamu setingi bintang di langit. Ini pekerjaan terus dilakukan manusia turun-temurun; berulang-ulang. Merancang sebuah kehidupan dengan pengandaian yang dibahanbakari imajinasi dan kehendak ingin lebih baik dari hari ke hari.

Menjadi presiden tentu amat tinggi bagi seorang tukang becak [memang tidak setingi bintang di langit], tetapi si empunya keinginan tersebut telah dihukum kausalitas. Pertama-tama ia tentu harus pintar. Bisa menguasai, misalnya bahasa Inggris dan mencapai sejumlah gelar dengan sertifikasi yang diakui. Seterusnya, ia tentu harus kaya, guna memenuhi tuntutan sistem politik yang mengharuskan seorang pemimpin bangsa punya kecakapan finansial untuk membeli massa [ini terjadi tentu tidak di Indonesia saja].

Menjadi pintar dan kaya adalah dua tangga yang mesti dilalui oleh si tukang becak jika bercita-cita jadi presiden. Dan sudah menjadi rahasia umum ketika cara mengunakan tangga untuk menncapai ketinggian yang diidam-idamkan itu juga ada teknik dan strateginya. Tidak tertutup kemungkinan, semua siasat yang dipilih tiba-tiba halal dalam hitungan jari. Perumpamaan ini bisa diteruskan ke hal lain yang terkait dengan hasrat manusia yang suka ketinggian.

Apalagi yang tinggi selain tahta dan sejumlah cita-cita manusia dalam kehidupan duniawi? Mungkin Tuhan. Tuhan Juga tinggi.

Kabar yang menggelisah inilah ditemukan dari perjalanan estetik seorang Yusril, teaterawan berdarah Minang yang intens dengan sebuah kredo ‘distorsi’ dan dekonstruksi pada proses penggarapan Tangga.

Naskah Tangga pada mulanya hanya rentetan teks puisi yang ditulis Iyut Fitra, konon setelah berdiskusi dengan Yusril. Memang bukan Yusril namanya, kalau teks puisi atau teks apa saja sudah sampai di “rumah” kreativitasnya lantas tidak ada tawaran visualisasi yang akan dibantai dengan pisau distorsi dan dekonstruksi itu tadi.

Pada penggarapan sebelumnya, Yusril pernah dipergunjingkan kritikus teater sebagai seorang arsitek yang akan membangun sebuah rumah. Barangkali itulah rumah estetik yang dirindukannya sebagai pekarya teater yang sudah melewati penempuhan panjang penciptaan. Sebelumnya, dengan mengusung nama Komunitas Hitam Putih, ia telah menggarap Jendela, Cermin, Kamar, Pintu, dan hingga kini Rumah tersebut sudah rampung. Kabarnya, Yusril juga sudah membikin taman di halamannya, tetapi nyaris lupa, rumah estetik tadi belum ada “Tangga”nya.

Konotasi sebuah rumah tanpa tangga, atau rumah tanpa jendela, dalam pembacaan Yusril sebagai orang Minangkabau ternyata menimbulkan kesan kebelumsempurnaan. Boleh dilihat pada sejumlah ungkapan bijak di Minangkabau: Bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun). Dalam konstelasi Minangkabau, ada aturan main dalam proses naik turun rumah itu. Ini lebih beralasan ketimbang Oedypus yang naik turun ke sebuah ketinggian yang tak jelas.

Kemudian ada pula keberanian-keberanian temporal yang harus dioambil secara dadakan. Berani atau nekad itu terlihat dalam indak kayu, janjang dikapiang/tabujua lalu tabalintang patah (kalau tidak ada kayu,jenjang dikeping/terbujur lalu, terbelintang patah). Tanggayang tadi dihormati pada kesempatan tertentu boleh dikeping, dihancurkan jadi kayu api buat memasak makanan atau sebagai properti untuk bangunan lain. Yang tidak boleh itu adalah berhenti berdialektika hanya gara-gara ada aral melintang.

Idiom-idiom bahkan ideologi sekitar Tangga sangat kompleks. Sebagai sebuah perjunjukan teater, Yusril tentu sudah berdamai dengan itu semua dan cara Yusril berdamai biasanya dengan membongkar elemen atau bahasa Yusril sendiri ‘individu’ rumahnya. Bahkan Tangga untuk menaikinya pun berpeluang untuk dikeping. Begitu juga mungkin terhadap pintu dan kamar-kamar di dalamnya. Bisa jadi juga, Yusril justru tidak membuat tangga untuk menaiki rumah estetiknya, tetapi malah membuat tangga menuju langit dan mengajak orang-orang meninggalkan bumi. Wah, segalanya belum utuh, masih dalam proses pembuatan menjadi sebuah pertunjukan.

Pertunjukan yang akan digelar pada 21 Juli di STSI Padangpanjang dan 27 juli di Taman Budaya Sumatera Barat ini, hasil hibah-menghibah Komunitas Hitam Putih dan yayasan kelola ini sepertinya menjadi pertaruhan bagi Yusril sebelum orang-orang ia izinkan menaiki Rumah-nya. Selamat bertandang.

No comments: