24.7.07

info

Komunitas seni HITAM-PUTIH Indonesia akan melakukan pertunjukan teater dengan pencarian baru di atas panggung dengan mengangkat judul cerpen Ditunggu Dogot karya Sapardi Djoko Damono, sutradara Kurniasih Zaitun (TINTUN)..

Setelah tampil di Solo pada bulan April lalu, sekarang saatnya tampil di Bandung dan Jakarta. Berikut informasinya :

Bandung : 25 Juli 2007

  • CCF Bandung (depan Bandung Electronic Center, jl. Purnawarman no. 32, pukul 19.30

Jakarta : 27 - 28 Juli 2007

  • 27 Juli, pukul 20.00 di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki, Cikini Jakarta Pusat. Terbuka untuk umum.
  • 28 Juli, pukul 19.30 di Taman Kambojo, Kampus UIN Ciputat, Jakarta

Konsep Garapan
Ditunggu Dogot adalah sebuah cerpen Sapardi Djoko Damono. “Teks” cerpen ini kemudian ditafsirkan dan diwujudkan dalam bentuk pertunjukan teater. Cerpen ini mengisahkan perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asal usulnya.

Dapat dilihat disini bahwa Sapardi sangat terinspirasi oleh Menunggu Godot karya Samuel Beckett. Sapardi mencoba melihat bagaimana persoalan “menunggu” tidak akan lengkap jika tidak ada “ditunggu”, dan Sapardi percaya bahwa hidup ini berpasang-pasangan. Hal ini terlihat pada dialog-dialog yang muncul dalam cerpen tersebut, termasuk cara Sapardi dalam melukiskan persoalan dan konflik yang membangun inti cerpen tersebut.

Konsep panggung yang ditawarkan adalah stage on stage (panggung di atas panggung) yang menghadirkan panggung bergerak (berputar) untuk mnenawarkan konsep un-blocking (perpindahan aktor lebih ditentukan oleh pergerakan panggung). Sedangkan posisi penonton diarahkan ke dalam bentuk prosenium dan tapal kuda/arena, dengan tujuan lebih memudahkan penonton untuk mengapresiasi pentas itu sendiri. Untuk memperkuat karakter pertunjukan dan artistik panggung, pementasan ini juga menggunakan multimedia yang dilahirkan melalui layar yang menjadi latar belakang panggung.

Konsep pertunjukan Ditunggu Dogot, berangkat dari ide dasar randai, dengan menjadikan unsur galombang dan pelaku galombang sebagai penentu, yakni penentu pergantian waktu, tempat dan adegan. Fungsi pelaku galombang dalam pertunjukan ini sangat ditentukan oleh perputaran panggung; pada saat perputaran dilakukan, pelaku galombang menjadi aktor pertunjukan, dan ketika tidak terjadi lagi perputaran, sang pelaku galombang memfungsikan diri sebagai bagian dari penonton.

Sinopsis

Perjalanan dua orang tokoh, laki-laki dan perempuan yang sedang ditunggu Dogot. Selama perjalanan Ditunggu Dogot mereka mengalami berbagai persoalan, konflik dan perdebatan mereka tentang Dogot, sedangkan Dogot itu sendiri tidak jelas identitas dan asala usulnya.

Semua yang ada dimuka bumi ini diciptakan berpasang-pasangan. Jauh dekat, tinggi rendah, langit bumi, laki-laki perempuan, menunggu ditunggu. Perjalanan hidup manusia yang tak pernah bisa ditebak “apa”, tapi dapat dirasakan, dijalani dan dinikmati.

Sampai jumpa dan tabik,

Evi Widya Putri

Komunitas Seni HITAM-PUTIH

6.7.07

pementasan hanya satu kali sutradara Afrizal Harun

Pementasan Teater dengan judul naskah "Hanya Satu Kali" karya Jhon Galsworthy dan Robert Midlemand, sutradara Afrizal Harun
Tanggal 5 Juli 2007
di Auditorium Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang Pukul 20.30 WIB.

BERITA HITAM-PUTIH

PEMENTASAN TANGGA
Inspirasi puisi Iyut Fitra
drama Prell.T
sutradara Yusril
21 Juli di STSI Padangpanjang
27 Juli di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat

Pementasan DITUNGGU DOGOT
Karya Sapardi Djoko Damono
Sutradara Kurniasih Zaitun
27 Juli 2007 di Taman Ismail Marzuki Jakarta

5.7.07

LIFLET1

LIFLET2

FILM SEBAGAI MEDIA PENCITRAAN DAERAH[1]

Oleh

Emeraldy Chatra[2]

Film telah membuat citra seniman daerah sebagai orang-orang tolol di dunia film, dan membuat citra sineas Jakarta serba lebih hebat.

Ketika kita menonton film-film buatan Bollywood yang muncul ke hadapan kita adalah wajah India, bukan wajah Mumbay atau New Delhi. Begitu juga ketika kita menonton film-film produksi Hollywood (Amerika Serikat), yang kita lihat adalah wajah negara Paman Sam itu, bukan wajah Los Angeles atau Washington. Tapi ketika kita menonton film-film buatan Indonesia yang terlihat adalah wajah Jakarta dan sekitarnya (Bogor atau Bandung), mulai dari yang sangat glamor dan berkelimpahmewahan sampai pada suasana perkampungan yang paling jorok.

Terpusatnya industri film di Jakarta menyebabkan film Indonesia didominasi oleh film-film yang menjadikan kehidupan metropolitan sebagai setting cerita. Wajah Jakarta dan sekitarnya jauh lebih tampak dibandingkan wajah daerah-daerah lain di luar daerah tsb. Wajah Jakarta itulah yang dipaksakan sebagai wajah Indonesia, seolah-olah Indonesia merupakan sebuah negara kota yang sangat urban. Padahal, Indonesia bukanlah Jakarta plus Bogor plus Bandung. Lebih kurang 80% rakyat Indonesia hidup di luar Jakarta, di daerah-daerah perdesaan yang kebanyakan masih mempertahankan tradisinya yang eksotis. Dengan kondisi seperti itu film kita lebih tepat dikatakan film Jakarta daripada film nasional.

Tampaknya, daerah-daerah di luar Jakarta, terutama Sumatra, Kalimantan, Sulawesi atau Papua tidak dianggap memberi nilai tambah kepada film oleh para industrialis maupun seniman film yang hampir seluruhnya berdomisili di Jakarta. Agaknya mereka berpikir, jika bisa membuat film yang menguntungkan di Jakarta atau kota-kota di sekitarnya, mengapa harus repot-repot datang ke kota-kota atau nagari-nagari di Sumatera Barat atau paserah di Sumatera Selatan? Mengapa pula harus membuang uang banyak untuk datang ke Papua, sementara filmnya belum tentu laris di pasar?

Alasan seperti itu tentu sangat logis, karena film adalah produk industri padat modal yang rentan rugi. Lagi pula, kebanyakan rakyat Indonesia tidak pernah mempersoalkan dimana sebuah film dibuat. Mereka tidak pernah memprotes mengapa industri film sejak dulu hanya di Jakarta, tidak pernah tampak tanda-tanda akan bergerak ke luar Jakarta. Tidak banyak yang membandingkan industri film India yang tidak berpusat di New Delhi, tapi di Mumbay, atau industri film Amerika Serikat tidak di Washington, tapi di Los Angeles.

Tak ayal, pemusatan industri film di Jakarta menimbulkan mitos dan anggapan bahwa yang bisa membuat film hanya orang Jakarta. Orang-orang daerah tidak sepandai orang Jakarta; kalau membuat film tanpa bantuan orang Jakarta pasti jelek, pengusaha daerah tidak mengerti film, artis daerah tidak ada yang berbakat, dan sebagainya.

Sebagian anggapan itu tidak salah. Di Jakarta ada IKJ (Institut Kesenian Jakarta) yang mengajarkan bagaimana membuat film dan telah menghasilkan sineas-sineas terkemuka. Mereka umumnya mencari hidup di Jakarta setelah menamatkan pendidikan. Sebagian memang kembali ke daerah dan tak pernah menjadi sineas terkemuka di tingkat nasional.

Di samping itu, di Jakarta juga jauh lebih mudah mendapatkan dana untuk memproduksi film, penyewaan peralatan tersedia, studio-studio canggih juga ada. Semua itu, harus jujur diakui, sukar diperoleh di daerah. Berbagai kesulitan yang dihadapi seniman daerah dalam usaha mereka menghadirkan film yang layak tonton akhirnya membangun citra bahwa di daerah hanya ada penonton, tidak ada seniman yang mampu membuat film.

Pertanyaan kita, sampai kapan masyarakat daerah melulu harus menjadi konsumen film-film Jakarta? Kapan citra ‘tidak melek film’ yang melekat pada seniman daerah berubah menjadi ‘melek film’? Kapan berbagai kearifan lokal yang masih subur di Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi dapat dihadirkan oleh sineas daerah untuk dikonsumsi oleh orang-orang Jakarta? Atau, secara ekonomis, kapan orang daerah dapat menyedot uang orang Jakarta dari industri film mereka setelah sejak dulu kala hanya menyetor uang – dengan menonton -- kepada industri film Jakarta?

Dalam penilaian saya, dunia film bukanlah dunia yang tidak dapat dijangkau oleh para seniman daerah. Seniman daerah tidak perlu merasa rendah diri berhadapan dengan seniman Jakarta yang dibesarkan oleh fasilitas, tapi nyatanya juga tidak terlalu hebat dibandingkan seniman film India, Hongkong, apalagi Amerika Serikat. Toh karya-karya film-maker Jakarta hingga hari ini tetap tidak dikenal di dunia internasional, kendati satu dua sudah mendapatkan penghargaan di festival Cannes. Singkatnya, sineas Jakarta belum naik ke langit ke tujuh sehingga tidak dapat lagi dikejar oleh para seniman daerah. Mereka masih satu dua langkah saja di depan.

Justru dalam pikiran saya seniman daerah dapat menjadi lebih tegar, tidak manja dan dinamis mengingat demikian besarnya tantangan untuk berkarya. Berbagai kesulitan yang tidak dialami sineas Jakarta, tapi umum dialami oleh seniman lokal, dapat menjadi sumber inspirasi untuk membangun strategi berkarya yang lebih baik atau lebih efisien. Yang penting, jangan pernah ada istilah patah semangat, karena itu merupakan virus pembunuh utama bagi kegiatan kesenian apapun.

Apakah Orang Sumatera Barat bisa Bikin Film?

Hanya orang-orang yang tidak tahu sejarah yang akan mempertanyakan kemampuan orang Sumatera Barat membuat film. Baru saja Indonesia merdeka, orang Sumatera Barat sudah muncul sebagai tokoh-tokoh legendaris di dunia film. Mereka adalah Anjar Asmara, Usmar Ismail, Djamaludin Malik, Dr Abu Hanifah, dan Drs. Asrul Sani. Tokoh lain yang berasal dari Sumatra Barat adalah Roestam St. Palindih dan Dr Adnan Kapau Gani. Namun malangnya mereka kemudian lebih dikenal sebagai orang Jakarta, dan nama mereka tidak banyak dikenal di Sumatera Barat. Semangat mereka juga tidak menular ke dada seniman daerah yang terperangkap oleh mitos rendah diri karena tinggal jauh dari pusat kekuasaan.

Kini usaha-usaha seniman Sumatera Barat untuk mengikuti jejak pendahulu mereka di dunia film tanpa harus hijrah ke Jakarta sudah mulai menggeliat. Hal ini muncul sejalan dengan makin murahnya peralatan produksi seperti kamera dan komputer editing. Paling tidak seniman daerah Sumatera Barat sudah menghasilkan sinetron-sinetron lepas dan video dokumenter yang dikemas dalam CD kemudian ditayangkan dalam acara-acara sederhana. Untuk hadir di televisi memang masih memerlukan perjuangan panjang, kendati di Padang dan Bukittinggi sudah berdiri stasiun televisi lokal.

Langkah maju ke industri film juga masih tersendat. Mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang perfilman belum lagi jadi pilihan pengusaha daerah. Undang-Undang Perfilman No. 8/1992 dan PP No. 6/1994 yang dianggap sebagai pembunuh kreativitas insan perfilman, sekalipun tidak lagi efektif, tetap jadi hantu karena bagi pemilik modal karena belum dicabut. Undang-undang dan peraturan produk Orde Baru ini merupakan manifestasi kezaliman sebuah rejim terhadap kebebasan berkreasi dan berusaha di sektor perfilman karena menetapkan berbagai aturan dan larangan yang seolah-olah meletakkan sebelah kaki para sineas selalu dalam penjara. Di sisi lain, Undang-undang dan peraturan ini seakan meletakkan para pengusaha di pintu lembaga-lembaga Pemerintah yang diduduki para koruptor, sehingga para pengusaha setiap saat dicekik oleh ongkos perizinan dan biaya-biaya ekstra yang memangkas laba usaha sebelum produksi berjalan.

Tanpa pencabutan UU No.8/1992 dan PP No.6/1994, kreativitas seniman daerah mungkin tetap dapat berjalan, tapi pasti sangat tersendat-sendat. Sejauh ini tampaknya Pemerintah RI masih belum punya goodwill yang cukup tinggi untuk mencabut dan menggantinya dengan aturan yuridis yang lebih memerdekakan industri perfilman. Usulan-usulan perubahan yang dikemukakan insan perfilman masih terlihat seperti buih di tengah lautan. Padahal, kalau industri perfilman telah merdeka dari cengkraman aturan yang represif pengusaha Sumatera Barat yang bermodal kecil sekalipun akan dapat masuk ke industri sinetron dalam skala usaha rumah tangga. Artinya, di alam kemerdekaan membuat film para seniman daerah tidak perlu menunggu investor luar bermodal puluhan miliar. Dengan modal Rp 150 juta saja seorang pengusaha sudah dapat memulai kegiatannya. Menurut kebiasaan, investor kakap akan melirik dengan sendirinya bila telah mencium adanya keuntungan di balik kegairahan masyarakat berproduksi.

Di tingkat lokal keinginan pemerintah di daerah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi, Kabupaten/kota di Sumatera Barat, untuk mendesak Pemerintah RI agar melonggarkan tekanan terhadap industri film dan agar lebih memperhatikan perfilman daerah belum tampak sama sekali. Hal ini mungkin disebabkan selama ini persentuhan Sumatera Barat dengan dunia film baru sebatas menonton dan ikut-ikutan jadi pemain kalau ada yang datang untuk shooting. Agaknya pula pemerintah di Sumatera Barat belum sepenuhnya memperhatikan pergeseran-pergeseran dalam paradigma industri, dimana industri media audio visual makin memperlihatkan kekuatannya sebagai penyedia lapangan kerja, pendidikan masyarakat, bahkan penghasil devisa.

Oleh sebab itu, keterlibatan institusi pemerintah di Sumatera Barat, mulai dari tingkat provinsi sampai kabupaten, termasuk juga kalangan wakil rakyat di DPRD dalam memperjuangkan kebebasan industri film sangat diharapkan. Pemerintah RI harus didesak terus agar membiarkan industri perfilman daerah tumbuh secara alamiah tanpa dibebani berbagai kewajiban politik, ekonomi dan administratif yang sukar dipenuhi oleh pengusaha daerah. Bukankah di daerah seperti Sumatera Barat umumnya golongan pengusaha baru berada pada kelas kecil dan menengah?

Dengan adanya atmosfir kebebasan, kita berharap, suatu saat nanti citra ‘tidak melek film’ tidak lagi melekat pada diri seniman Sumatera Barat. Untuk itu harus ada upaya ekstra keras membangun citra sebagai sineas yang ulet, kreatif, tidak manja, dan tidak dibesarkan oleh fasilitas.

Sekian.



[1] Disampaikan dalam seminar perfilman tgl 10 Juli 2007.

[2] Pengamat film di daerah, sehari-hari bekerja sebagai dosen

Dari Perjalanan Kreatif Tangga:

Kalau Saja Ada Tangga ke Langit

Oleh Zelfeni Wimra

Kalau saja ada tangga ke langit, tentu banyak orang yang suatu waktu ingin menaikinya. Tinggalkan sejenak kehidupan dunia yang hiruk dan semakin sesak oleh ketakberaturan nilai-moral. Manusia semakin terdesak oleh kecepatan perubahan dan sangat berhasrat untuk melupakan pikiran-pikiran yang sering melompat melampaui realitas.

Tapi bukankah, kita (manusia itu) beserta hewan yang melata lainnya, telah lama terdampar sejak Adam dan Hawa diusir lantaran tidak sabar menunggu kapan saatnya menaiki tangga untuk memanjat batang Quldi dan memetik buahnya. Keterburu-buruan ternyata telah mengantar mereka -hingga ke kita- pada pilihan yang sering tidak sesuai dengan naluriah kemanusiaan itu sendiri.

Makanya, setelah berkurun-kurun melata di muka bumi, ketidakpuasan manusia terhadap realitas serta tuntutan pemenuhan kebutuhan yang penuh perebutan membuat mereka merasa lemah. Sehingga, perlu ada tambatan jiwa, tempat berlindung, dan mohon pertolongan. Tetapi tempat bernaung dan minta pertolongan itu selalu menjadi rahasia. kadang terasa tinggi sehingga diperlukan alat untuk mencapainya. Jika ketingiannya bisa dihitung jengkalan, seorang seseorag tentu tidak perlu terlalu panik memikirkan. Alternatif alat mencapai ketingian tersebut bisa saja dengan bantuan alat-alat lain.

Materi; benda kasat mata yang lazim untuk mencapai ketingian adalah tangga. Hal serupa terjadi jugakah pada proses pencapain imateri? Ketika ketingian “sesuatu” yang hendak di capai itu menyamai langit, tangga seperti apa gerangan yang bisa mengantar seorang manusia itu tadi?

Asumsi sementara dapat dinarasikan bahwa semakin banyak ketinggian, semakin beragam pula tangga yang digunakan untuk mencapainya. Serta tak terhitung bagaimana cara membuat dan menggunakan tangga.selama manusia suka ketinggian, selama itu pula tangga diperlukan. Dari sini bisa disimpul sebuah opini, bahwa aktivitas pencarian yang tinggi, tempat menemukan perlindungan tersebut akan terus berjalan sepanjang kehidupan itu sendiri.

Mengidentifikasi Ketinggian

Banyak orang menyugesti dirinya dengan sebuah istilah bijak: gantungkan cita-citamu setingi bintang di langit. Ini pekerjaan terus dilakukan manusia turun-temurun; berulang-ulang. Merancang sebuah kehidupan dengan pengandaian yang dibahanbakari imajinasi dan kehendak ingin lebih baik dari hari ke hari.

Menjadi presiden tentu amat tinggi bagi seorang tukang becak [memang tidak setingi bintang di langit], tetapi si empunya keinginan tersebut telah dihukum kausalitas. Pertama-tama ia tentu harus pintar. Bisa menguasai, misalnya bahasa Inggris dan mencapai sejumlah gelar dengan sertifikasi yang diakui. Seterusnya, ia tentu harus kaya, guna memenuhi tuntutan sistem politik yang mengharuskan seorang pemimpin bangsa punya kecakapan finansial untuk membeli massa [ini terjadi tentu tidak di Indonesia saja].

Menjadi pintar dan kaya adalah dua tangga yang mesti dilalui oleh si tukang becak jika bercita-cita jadi presiden. Dan sudah menjadi rahasia umum ketika cara mengunakan tangga untuk menncapai ketinggian yang diidam-idamkan itu juga ada teknik dan strateginya. Tidak tertutup kemungkinan, semua siasat yang dipilih tiba-tiba halal dalam hitungan jari. Perumpamaan ini bisa diteruskan ke hal lain yang terkait dengan hasrat manusia yang suka ketinggian.

Apalagi yang tinggi selain tahta dan sejumlah cita-cita manusia dalam kehidupan duniawi? Mungkin Tuhan. Tuhan Juga tinggi.

Kabar yang menggelisah inilah ditemukan dari perjalanan estetik seorang Yusril, teaterawan berdarah Minang yang intens dengan sebuah kredo ‘distorsi’ dan dekonstruksi pada proses penggarapan Tangga.

Naskah Tangga pada mulanya hanya rentetan teks puisi yang ditulis Iyut Fitra, konon setelah berdiskusi dengan Yusril. Memang bukan Yusril namanya, kalau teks puisi atau teks apa saja sudah sampai di “rumah” kreativitasnya lantas tidak ada tawaran visualisasi yang akan dibantai dengan pisau distorsi dan dekonstruksi itu tadi.

Pada penggarapan sebelumnya, Yusril pernah dipergunjingkan kritikus teater sebagai seorang arsitek yang akan membangun sebuah rumah. Barangkali itulah rumah estetik yang dirindukannya sebagai pekarya teater yang sudah melewati penempuhan panjang penciptaan. Sebelumnya, dengan mengusung nama Komunitas Hitam Putih, ia telah menggarap Jendela, Cermin, Kamar, Pintu, dan hingga kini Rumah tersebut sudah rampung. Kabarnya, Yusril juga sudah membikin taman di halamannya, tetapi nyaris lupa, rumah estetik tadi belum ada “Tangga”nya.

Konotasi sebuah rumah tanpa tangga, atau rumah tanpa jendela, dalam pembacaan Yusril sebagai orang Minangkabau ternyata menimbulkan kesan kebelumsempurnaan. Boleh dilihat pada sejumlah ungkapan bijak di Minangkabau: Bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun). Dalam konstelasi Minangkabau, ada aturan main dalam proses naik turun rumah itu. Ini lebih beralasan ketimbang Oedypus yang naik turun ke sebuah ketinggian yang tak jelas.

Kemudian ada pula keberanian-keberanian temporal yang harus dioambil secara dadakan. Berani atau nekad itu terlihat dalam indak kayu, janjang dikapiang/tabujua lalu tabalintang patah (kalau tidak ada kayu,jenjang dikeping/terbujur lalu, terbelintang patah). Tanggayang tadi dihormati pada kesempatan tertentu boleh dikeping, dihancurkan jadi kayu api buat memasak makanan atau sebagai properti untuk bangunan lain. Yang tidak boleh itu adalah berhenti berdialektika hanya gara-gara ada aral melintang.

Idiom-idiom bahkan ideologi sekitar Tangga sangat kompleks. Sebagai sebuah perjunjukan teater, Yusril tentu sudah berdamai dengan itu semua dan cara Yusril berdamai biasanya dengan membongkar elemen atau bahasa Yusril sendiri ‘individu’ rumahnya. Bahkan Tangga untuk menaikinya pun berpeluang untuk dikeping. Begitu juga mungkin terhadap pintu dan kamar-kamar di dalamnya. Bisa jadi juga, Yusril justru tidak membuat tangga untuk menaiki rumah estetiknya, tetapi malah membuat tangga menuju langit dan mengajak orang-orang meninggalkan bumi. Wah, segalanya belum utuh, masih dalam proses pembuatan menjadi sebuah pertunjukan.

Pertunjukan yang akan digelar pada 21 Juli di STSI Padangpanjang dan 27 juli di Taman Budaya Sumatera Barat ini, hasil hibah-menghibah Komunitas Hitam Putih dan yayasan kelola ini sepertinya menjadi pertaruhan bagi Yusril sebelum orang-orang ia izinkan menaiki Rumah-nya. Selama

4.7.07

Zelfeni Wimra tentang "Tangga" Hitam Putih 2007

Dari Perjalanan Kreatif Tangga:

Kalau Saja Ada Tangga ke Langit

Oleh Zelfeni Wimra

Kalau saja ada tangga ke langit, tentu banyak orang yang suatu waktu ingin menaikinya. Tinggalkan sejenak kehidupan dunia yang hiruk dan semakin sesak oleh ketakberaturan nilai-moral. Manusia semakin terdesak oleh kecepatan perubahan dan sangat berhasrat untuk melupakan pikiran-pikiran yang sering melompat melampaui realitas.

Tapi bukankah, kita (manusia itu) beserta hewan yang melata lainnya, telah lama terdampar sejak Adam dan Hawa diusir lantaran tidak sabar menunggu kapan saatnya menaiki tangga untuk memanjat batang Quldi dan memetik buahnya. Keterburu-buruan ternyata telah mengantar mereka -hingga ke kita- pada pilihan yang sering tidak sesuai dengan naluriah kemanusiaan itu sendiri.

Makanya, setelah berkurun-kurun melata di muka bumi, ketidakpuasan manusia terhadap realitas serta tuntutan pemenuhan kebutuhan yang penuh perebutan membuat mereka merasa lemah. Sehingga, perlu ada tambatan jiwa, tempat berlindung, dan mohon pertolongan. Tetapi tempat bernaung dan minta pertolongan itu selalu menjadi rahasia. kadang terasa tinggi sehingga diperlukan alat untuk mencapainya. Jika ketingiannya bisa dihitung jengkalan, seorang seseorag tentu tidak perlu terlalu panik memikirkan. Alternatif alat mencapai ketingian tersebut bisa saja dengan bantuan alat-alat lain.

Materi; benda kasat mata yang lazim untuk mencapai ketingian adalah tangga. Hal serupa terjadi jugakah pada proses pencapain imateri? Ketika ketingian “sesuatu” yang hendak di capai itu menyamai langit, tangga seperti apa gerangan yang bisa mengantar seorang manusia itu tadi?

Asumsi sementara dapat dinarasikan bahwa semakin banyak ketinggian, semakin beragam pula tangga yang digunakan untuk mencapainya. Serta tak terhitung bagaimana cara membuat dan menggunakan tangga.selama manusia suka ketinggian, selama itu pula tangga diperlukan. Dari sini bisa disimpul sebuah opini, bahwa aktivitas pencarian yang tinggi, tempat menemukan perlindungan tersebut akan terus berjalan sepanjang kehidupan itu sendiri.

Mengidentifikasi Ketinggian

Banyak orang menyugesti dirinya dengan sebuah istilah bijak: gantungkan cita-citamu setingi bintang di langit. Ini pekerjaan terus dilakukan manusia turun-temurun; berulang-ulang. Merancang sebuah kehidupan dengan pengandaian yang dibahanbakari imajinasi dan kehendak ingin lebih baik dari hari ke hari.

Menjadi presiden tentu amat tinggi bagi seorang tukang becak [memang tidak setingi bintang di langit], tetapi si empunya keinginan tersebut telah dihukum kausalitas. Pertama-tama ia tentu harus pintar. Bisa menguasai, misalnya bahasa Inggris dan mencapai sejumlah gelar dengan sertifikasi yang diakui. Seterusnya, ia tentu harus kaya, guna memenuhi tuntutan sistem politik yang mengharuskan seorang pemimpin bangsa punya kecakapan finansial untuk membeli massa [ini terjadi tentu tidak di Indonesia saja].

Menjadi pintar dan kaya adalah dua tangga yang mesti dilalui oleh si tukang becak jika bercita-cita jadi presiden. Dan sudah menjadi rahasia umum ketika cara mengunakan tangga untuk menncapai ketinggian yang diidam-idamkan itu juga ada teknik dan strateginya. Tidak tertutup kemungkinan, semua siasat yang dipilih tiba-tiba halal dalam hitungan jari. Perumpamaan ini bisa diteruskan ke hal lain yang terkait dengan hasrat manusia yang suka ketinggian.

Apalagi yang tinggi selain tahta dan sejumlah cita-cita manusia dalam kehidupan duniawi? Mungkin Tuhan. Tuhan Juga tinggi.

Kabar yang menggelisah inilah ditemukan dari perjalanan estetik seorang Yusril, teaterawan berdarah Minang yang intens dengan sebuah kredo ‘distorsi’ dan dekonstruksi pada proses penggarapan Tangga.

Naskah Tangga pada mulanya hanya rentetan teks puisi yang ditulis Iyut Fitra, konon setelah berdiskusi dengan Yusril. Memang bukan Yusril namanya, kalau teks puisi atau teks apa saja sudah sampai di “rumah” kreativitasnya lantas tidak ada tawaran visualisasi yang akan dibantai dengan pisau distorsi dan dekonstruksi itu tadi.

Pada penggarapan sebelumnya, Yusril pernah dipergunjingkan kritikus teater sebagai seorang arsitek yang akan membangun sebuah rumah. Barangkali itulah rumah estetik yang dirindukannya sebagai pekarya teater yang sudah melewati penempuhan panjang penciptaan. Sebelumnya, dengan mengusung nama Komunitas Hitam Putih, ia telah menggarap Jendela, Cermin, Kamar, Pintu, dan hingga kini Rumah tersebut sudah rampung. Kabarnya, Yusril juga sudah membikin taman di halamannya, tetapi nyaris lupa, rumah estetik tadi belum ada “Tangga”nya.

Konotasi sebuah rumah tanpa tangga, atau rumah tanpa jendela, dalam pembacaan Yusril sebagai orang Minangkabau ternyata menimbulkan kesan kebelumsempurnaan. Boleh dilihat pada sejumlah ungkapan bijak di Minangkabau: Bajanjang naiak, batanggo turun (berjenjang naik, bertangga turun). Dalam konstelasi Minangkabau, ada aturan main dalam proses naik turun rumah itu. Ini lebih beralasan ketimbang Oedypus yang naik turun ke sebuah ketinggian yang tak jelas.

Kemudian ada pula keberanian-keberanian temporal yang harus dioambil secara dadakan. Berani atau nekad itu terlihat dalam indak kayu, janjang dikapiang/tabujua lalu tabalintang patah (kalau tidak ada kayu,jenjang dikeping/terbujur lalu, terbelintang patah). Tanggayang tadi dihormati pada kesempatan tertentu boleh dikeping, dihancurkan jadi kayu api buat memasak makanan atau sebagai properti untuk bangunan lain. Yang tidak boleh itu adalah berhenti berdialektika hanya gara-gara ada aral melintang.

Idiom-idiom bahkan ideologi sekitar Tangga sangat kompleks. Sebagai sebuah perjunjukan teater, Yusril tentu sudah berdamai dengan itu semua dan cara Yusril berdamai biasanya dengan membongkar elemen atau bahasa Yusril sendiri ‘individu’ rumahnya. Bahkan Tangga untuk menaikinya pun berpeluang untuk dikeping. Begitu juga mungkin terhadap pintu dan kamar-kamar di dalamnya. Bisa jadi juga, Yusril justru tidak membuat tangga untuk menaiki rumah estetiknya, tetapi malah membuat tangga menuju langit dan mengajak orang-orang meninggalkan bumi. Wah, segalanya belum utuh, masih dalam proses pembuatan menjadi sebuah pertunjukan.

Pertunjukan yang akan digelar pada 21 Juli di STSI Padangpanjang dan 27 juli di Taman Budaya Sumatera Barat ini, hasil hibah-menghibah Komunitas Hitam Putih dan yayasan kelola ini sepertinya menjadi pertaruhan bagi Yusril sebelum orang-orang ia izinkan menaiki Rumah-nya. Selamat bertandang.

Sudarmoko, tentang proses hitamputih

Tentang Proses Produksi Komunitas Hitam Putih
Eksplorasi “Jenjang” dan Tawaran Artistik Pentas
Oleh Sudarmoko

Eksplorasi properti sebagai alat perekat sebuah pertunjukan teater masih menjadi mainstream yang digunakan dalam beberapa karya teater di tanah air. Setidaknya, titik berangkat pertunjukan terobsesi dari bagaimana properti dapat dieksplorasi dan dijadikan tumpuan utama pertunjukan. Demikian juga dengan proses produksi teater Komunitas Hitam Putih, bertajuk Jenjang, yang menitikberatkan pada elaborasi dan eksplorasi properti dalam garapannya. Produksi ini menjadi bagian dari program Hibah Kelola 2007 dan rencananya akan dipentaskan di STSI Padangpanjang 21 Juli 2007 dan di Taman Budaya Sumatra Barat di Padang pada 27 Juli 2007.
Fenomena ini barangkali dapat dilihat bagaimana jenjang, misalnya, dapat mereferensikan sesuatu ketika dimainkan atau diolah oleh pemain. Bagaimana bentuk konfigurasi yang dapat dimainkan oleh variasi yang dapat dimungkinkan. Ketika berpikir tentang jenjang, beberapa referensi muncul: jalan menuju kekuasaan, tahapan-tahapan dalam sebuah proses, jungkat-jungkit yang menimbang sesuatu, rel yang hitam lurus dan panjang, dan seterusnya. Referensi ini mungkin masih pada permukaan. Kita masih dapat menambahkannya lagi dari berbagai hubungan referensial yang lain. Misalnya dalam pepatah Minangkabau, berjenjang naik bertangga turun, yang merangkum pandangan filosofis dan politis tentang sistem pemerintahan yang merupakan kompromi dari kelompok Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Pepatah ini mengindikasikan sistem yang bersifat bottom up dan top down untuk digunakan sekaligus.
Tarik menarik antara dua kekuatan aliran ini berlangsung terus, dengan ciri khas yang masih dianut oleh masing-masing kelompoknya. Namun, bertangga naik berjenjang turun juga menjadi alternatif bagi kelompok yang memiliki kecenderungan untuk mengompromikannya. Pandangan ini juga yang menjadi perhatian utama dari naskah pertunjukan Jenjang yang disutradarai oleh Yusril ini. Dualisme dan tarik menarik seperti ini akan dapat digunakan sebagai perekat pertunjukan dan menjalin konflik dalam keseluruan pementasan. Dengan demikian, suspense yang yang diharapkan hadir dalam pementasan dapat dijaga keberlangsungannya. Saya tidak tahu pasti apakah Yusril sadar dan memanfaatkan peluang ini atau tidak.
Saya berkesempatan untuk menyaksikan proses latihan ini beberapa waktu yang lalu. Tarik menarik antara dua kutub ini masih belum disinggung dalam latihan. Namun demikian, Yusril tampaknya akan mengarah ke soal ini. Setidaknya, hal ini tampak dari elaborasi yang dilakukan oleh Yusril dan kawan-kawan. Ada peluang untuk memasuki ranah filosofis dan politis ini melalui pembagian ruang dan penggunaan properti dalam masing-masing babakan. Apalagi bila hal ini didukung oleh pemanfaatan properti yang akan menjadi daya tarik dari pertunjukan ini. Pembagian ruang yang telah ditemukan selama proses latihannya sesungguhnya menarik untuk dicermati. Yusril membagi stage dengan memanfaatkan propertinya. Setidaknya ada tiga level: di atas pentas, di atas jenjang, dan di dinding belakang pentas. Ketiga level ini dapat memberikan masukan penting dalam penggunaan pentas yang biasa terjadi dalam pentas teater. Tentu saja bila Yusril dapat menghadirkan capaiannya ini dengan baik.
Bagi pemain, saya melihat ada peluang lain yang belum maksimal dilakukan. Bisa jadi, bermain dengan properti dapat menjadi pedang bermata dua. Bila pemain tidak akrab dengan properti, maka properti hanya akan menjadi beban dan menghambat laju permainan. Properti akan memenuhi pentas tanpa memiliki nilai artistik bila tidak dimanfaatkan oleh pemain. Namun bila hal ini dapat diatasi, bisa jadi pemain dapat menggunakan properti menjadi medium yang mendukung permainan. Pada tingkat tertentu, bermain dengan properti keras seperti ini membutuhkan presisi dan hubungan yang intim antara pemain dan properti.
Pemain belum sepenuhnya memiliki gambaran dan pengalaman emosional dengan properti Jenjang. Ini sebenarnya dapat diatasi dengan lebih mendalam memikirkan dan menghadirkan pengalaman mereka dengan jenjang. Tindakan emosional ini akan membantu pemain dalam memperlakukan jenjang yang dibawa, dinaiki, atau diperebutkan. Jika pemain tidak memiliki pengalaman ini, bisa jadi akan tampak kekakuan dan kehilangan akal dan berhadapan dengan properti mereka sendiri.
Menurut informasi, Yusril menggunakan latihan bantu Capuera untuk latihannya ini. Dan waktu yang digunakan untuk berlatih dengan properti ini mungkin akan menjadi masa yang menguntungkan dalam proses latihannya. Apalagi, Yusril dalam sebagian besar produksi teaternya, selalu menggunakan properti sebagai mediumnya. Sesuatu yang menarik secara visual dan pendalaman ceritanya.
Naskah Jenjang ini berasal dari puisi yang ditulis oleh Iyut Fitra. Dengan menggunakan puisi, tentu saja dialog atau narasi yang ada memiliki kedalaman sastrawi dan patut untuk digunakan secara cermat. Masing-masing kata dipilih dan ditempatkan dengan isian dan makna yang ambigu. Di sinilah mungkin satu peluang lagi dapat dipikirkan oleh Komunitas Hitam Putih dalam menghadirkan peristiwa yang diangkat dalam pertunjukannya ini.
Persoalan jenjang, mungkin bukan sekadar tangga atau pijakan. Dari sini akan muncul pemaknaan baru yang mungkin saja akan sangat menarik untuk ditonton.


Sudarmoko, peminat seni, tinggal di Padang.